Wednesday, July 4, 2012

Masjid Besar Al-Mahmudiyah Palembang, Klasik dan Tradisional

Bila pergi ke Palembang, Sumatera Selatan, dengan tujuan berwisata atau lainnya, mampirlah ke Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II.

Di kelurahan tersebut, terdapat sebuah masjid yang berusia lebih dari satu abad, dan hingga kini masih kokoh berdiri, dengan bentuknya yang masih serupa dengan awal pembangunannya.

Namanya Masjid Besar Al-Mahmudiyah. Dan kalaupun ada yang berubah dari masjid tersebut, itu hanya sebagian saja seperti menaranya, keramik, dan dinding masjid yang dilapisi dengan bahan-bahan yang terbaik.

Sebelum bernama Masjid Besar Al-Mahmudiyah, dulunya masjid ini bernama Masjid Suro. Nama ini disematkan sesuai dengan nama jalan tempat masjid tersebut didirikan, yaitu Jalan Ki Ranggo Wiro Sentiko Simpang Suro.

Dari Kota Palembang, lokasi masjid ini berjarak sekitar satu kilometer. Nama ini dulunya diberikan oleh KH Abdurrahman Delamat bin Syarifuddin, bersama dengan sahabatnya Kiai Ki Agus H Mahmud Usman (Kiai Khotib). Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan kepengurusan masjid, akhirnya pada 2001, masjid ini diberi nama Masjid Besar Al-Mahmudiyah.

Masjid Suro ini didirikan oleh KH Abdurrahman Delamat pada 1889, dan selesai pada 1891 Masehi. Sebagaimana fungsi masjid pada umumnya, masjid ini juga didirikan dengan tujuan untuk memudahkan masyarakat melaksanakan ibadah kepada Allah.

Disamping itu, karena keterbatasan lembaga pendidikan, maka masjid juga dipergunakan untuk menimba ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama oleh masyarakat setempat kepada Kiai Delamat.

Besarnya minat masyarakat untuk menimba ilmu agama, membuat penjajah Belanda merasa khawatir kegiatan keagamaan tersebut akan berkembang menjadi sebuah upaya menentang dan memberontak melawan Belanda.

Karena itu, pemerintah Hindia Belanda tidak menghendaki hal tersebut terjadi. Kepala Residen Belanda waktu itu, meminta agar kegiatan tersebut dihentikan. Namun, Kiai Delamat tetap melaksanakan tugasnya menyampaikan dakwah Islam pada masyarakat setempat.

Akhirnya, Kiai Delamat dipanggil oleh Kepala Residen dan diperingatkan untuk tidak lagi menyebarkan Islam. Bersama itulah keluar larangan menyelenggarakan shalat Jumat di masjid tersebut. Dan Kiai Delamat diperintahkan untuk meninggalkan Kota Palembang karena dianggap membahayakan Pemerintah Hindia Belanda.
Kuatnya desakan Pemerintah Hindia Belanda, dengan terpaksa Kiai Delamat harus meninggalkan masjid ini dan berpindah ke lain tempat.

Kiai Delamat akhirnya menetap di Dusun Sarika hingga wafatnya dan dimakamkan di Masjid Babat Toman, Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan.

Namun, oleh anaknya, KH Abdul Kodir dan KH Muhammad Yusuf, jenazah Kiai Delamat dipindahkan kembali ke Palembang dan dimakamkan di belakang mimbar khatib.

Tetapi, karena tidak disetujui oleh pemerintah kolonial, akhirnya jenazahnya dipindahkan kembali ke Pemakaman Jambangan di belakang Madrasah Nurul Falah, Kelurahan 30 Ilir, Palembang.

Menurut keterangan, Kiai Delamat lahir di daerah Babat Toman. Setelah dewasa ia pindah ke Palembang dan berdomisili di daerah Lawang Kidul, tepatnya di Masjid Lawang Kidul. Ketika masih remaja, Kiai Delamat pernah mengajar di Makkah, Madinah, dan Baitul Maqdis, bersama Kiai Muara Ogan.

Semasa hidupnya, Kiai Delamat tidak mempunyai satu rumah pun kecuali masjid-masjid yang dibangunnya. Antara lain Masjid Pulau Panggung, Masjid Fajar Bulan, Masjid Babat Toman, dan Masjid Pulau Sambi. Sedangkan, di Kota Palembang ia membangun Masjid Suro (Al-Mahmudiyah-Red) dan Masjid Rohmaniyah yang terletak di Kelurahan 35 Ilir, Palembang.

Dibongkar Belanda

Sepeninggal Kiai Delamat, kegiatan di masjid ini menjadi berkurang. Dan lama kelamaan akhirnya masjid ini dibongkar Belanda. Pemerintah kolonial ini juga melarang diselenggarakannya ibadah di tempat tersebut, selama lebih kurang 36 tahun. Namun, setelah kepengurusan diserahkan kepada Kiai Khotib, bangunan masjid ini kembali difungsikan.

Setelah Kiai Khotib meninggal dunia maka sekitar tahun 1343 H/1919 M diadakan pertemuan antara pemuka agama dan masyarakat di Kelurahan 30 Ilir untuk membentuk kepengurusan masjid yang baru, atas prakarsa Kiai Kiemas H Syeikh Zahri. Maka, terpilihlah kepengurusan baru yang diketuai oleh HM Ali Mahmud.

Di masa kepengurusannya, pada 1920 masjid ini mulai dibongkar untuk diperbaiki. Satu hal yang dipertahankan adalah tiang penyangga masjid yang terbuat dari kayu bulat tinggi dan lebar. Dalam buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia disebutkan, kendati sudah berusia satu abad lebih, namun tiang penyangga masjid ini sampai hari ini masih tetap berdiri kokoh.

Selanjutnya, pada 1925 pengurus Masjid Suro membangun menara masjid. Dan sejak saat itu masyarakat diperbolehkan kembali shalat Jumat oleh pemerintah kolonial yang berkuasa saat itu. Kemudian pada 1928 M, dilakukan penyempurnaan pada bangunan tambahan berupa sumur untuk berwudhu.


Tak seperti masjid-masjid masa kini yang dibangun semegah dan semewah mungkin, Masjid Suro yang kini bernama Al-Mahmudiyah itu, masih tetap tampak klasik dan tradisional dengan atap layaknya bangunan rumah-rumah penduduk.

Begitu juga dengan bangunan menaranya yang tampak kokoh berbentuk lancip pada ujungnya. Bentuk menara yang demikian itu, menambah kesan klasik masjid ini.

Bahkan, bila masjid-masjid lainnya menggunakan kubah berbentuk bundar dan pipih, kubah Masjid Besar Al-Mahmudiyah ini justru hanya berbentuk tajuk limas dengan mustaka dan kubah dari aluminium. Simbol ini menandakan arsitektur masjid ini terpengaruh oleh masjid-masjid di Jawa, seperti Masjid Agung Demak.

Dari luar, masjid ini tampak biasa-biasa saja. Bahkan, menurut warga setempat, masjid ini seperti kurang terawat.
Namun demikian, pada bagian dalam, masjid ini tampak begitu indah, kendati dinding-dindingnya masih berupa beton semen. Luas bangunan masjid yang berukuran 40 X 30 meter persegi ini, mampu menampung jamaah hingga sekitar 1.000 orang.
Peninggalan sejarahDengan usianya yang terbilang sudah lebih dari satu abad, Masjid Besar Al-Mahmudiyah kini menyimpan berbagai benda peninggalan sejarah. Di antaranya beduk, sokoguru (tiang) untuk penyangga masjid, kolam tempat berwudhu, serta mimbar tempat makam Kiai Delamat.

Keberadaan kolam tempat berwudhu di Masjid Al-Mahmudiyah ini juga menyimpan cerita unik. Menurut cerita yang berkembang luas di masyarakat, air kolam tempat berwudhu ini berasal dari empat mata air yang mengalir terus.

Meski bagian dasar kolam tersebut sudah dirombak dari sebelumnya masih berupa tanah menjadi sebuah kolam permanen dengan bagian dasar menggunakan keramik, namun masih terdapat rembesan dari keempat mata air tersebut.

Cerita lain yang berkembang seputar keberadaan kolam tersebut adalah air yang berasal dari kolam ini dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Karenanya, banyak di antara pengunjung yang singgah di sana tidak lupa membawa pulang air dari kolam ini untk dijadikan obat. Wallahua'lam.

Markas Pejuang, Membina UmatPada masa perang kemerdekaan, para pejuang Indonesia kerap menjadikan masjid sebagai markas perjuangan rakyat melawan penjajah. Demikian pula halnya dengan Masjid Besar Al-Mahmudiyah Palembang ini.

Masjid ini seringkali dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para pemuda dan pejuang-pejuang yang tergabung dalam BPRI (Badan Pelopor Republik Indonesia). Dan kini, setelah masa kemerdekaan, masjid dijadikan sarana pembinaan umat.

Masjid yang turut menjadi saksi perjuangan masyarakat Palembang dalam melawan penjajah ini, kini dimanfaatkan para remaja masjid untuk meningkatkan keimanan dan pembinaan akhlak generasi muda.

Para remaja masjid yang tergabung dalam Ikatan Remaja Masjid (IRMA) Al-Mahmudiyah, menjadikannya sebagai markas 'perjuangan' dalam membina umat. IRMA Al-Mahmudiyah yang terbentuk sejak 1990 ini, telah beberapa kali melakukan pergantian kepengurusan.

Sejak dibentuk hingga saat ini IRMA telah banyak menghasilkan prestasi dalam bidang keagamaan, seperti juara II lomba cerdas cermat (1991), juara III lomba kaligrafi (1992), juara II MTQ, dan juara I lomba pidato Islam (1995). Beberapa kegiatan lain yang dilaksanakan secara rutin adalah pengajian Alquran dan barzanji dari rumah ke rumah.

IRMA juga telah membentuk lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Alquran (TPA). TK dan TPA tersebut kini memiliki lebih dari 100 orang santri/murid.

Meski usianya sudah terbilang tua, namun Masjid Al-Mahmudiyah tidak pernah lelah dalam membina umat. Ini terlihat dari jumlah jamaah shalat lima waktu yang tidak pernah sepi. Disamping itu, pada setiap malam Senin dan Sabtu diadakan pengajian dan ceramah agama oleh ulama terkemuka Kota Palembang.

No comments:

Post a Comment