Friday, July 13, 2012

Keesaan Dalam Keberagaman

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Keesaan dalam keragaman atau keragaman dalam keesaan diakui hampir di semua agama. Hanya saja untuk sampai ke pemahaman seperti ini diperlukan kesadaran yang lebih tinggi.

Hanyalah orang yang berada di dalam makam tertentu bisa melihat dan merasakan hakikat keberadaan Yang Mahaesa di dalam keberagaman wujud.

Berawal dari keinginan Allah SWT untuk memperkenalkan diri-Nya, sebagaimana diungkapkan di dalam hadis Qudsi, “Aku pada mulanya harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.”

Sebelum Allah SWT memperkenalkan diri-Nya maka tidak ada yang bisa mengerti Allah SWT selain Diri-Nya. Allah SWT ketika itu masih tetap pada puncak dari segala puncak rahasia (sirr al-asrar) atau dalam Islatilah Ibnu Arabi Allah SWT dalam kapasitasnya sebagai Ahadiyah.

Ketika Ia mau memperkenalkan diri-Nya, maka Ia memperkenalkan identitas diri-Nya yang oleh para teolog (mutakallimin) lebih dikenal dengan nama-nama-Nya (al-Asma) dan oleh para sufi lebih dikenal dengan sifat-sifat-Nya (al-Aushaf).

Keberadaan potensi dan aktualisasi di tingkat awal ini sudah pernah dibahas di dalam artikel terdahulu di dalam konsep al-A'yan al-Tsabitah, yakni sebuah keberadaan yang masih bersifat potensial dan tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan (Ilmiyyah al-Haq). Keberadaan ini juga sering disebut berada pada level Wahidiyyah.

Keberadaan ini belum berada pada level alam yang sudah merupakan keberadaan aktualitas yang konkret (maujud/existence) atau menurut Ibnu Arabi disebut dengan al-A'yan al-Kharijiyyah, yakni sesuatu yang berwujud di level konkret melalui proses emanasi agung (al-faidh al-muqaddas).

Keberadaan entitas-entitas ini merupakan hasil emanasi awal (al-tajalli al-awwal/al-faidh al-aqdas). Proses emanasi agung melahirkan al-A’yan al-Kharijiyyah, yaitu keberadaan yang sudah aktual, bukan lagi keberadaan potensial. Disebut demikian karena berada di lingkaran luar dari al-A’yan al-Tsabitah. Keberadaan yang terakhir ini tidak lagi disebut entitas tetap (al-tsabit) karena sudah bersifat aktual dan menerima perubahan (al-hawadits).

Wujud potensial berupa nama-nama atau sifat-sifat ini menuntut aktualisasi. Allah SWT sebagai Tuhan Yang Disembah (Rab/Ilah), maka sudah barang tentu memerlukan penyembah (marbub/makhluk).

Contoh lain, Allah SWT memiliki sejumlah nama atau sifat, seperti al-Khaliq (Mahapencipta), al-Wahhab (Mahapemberi), al-Rahim (Mahapenyayang), dan al-Gafur (Mahapengampun), dan al-Tawwab (Mahapenerima taubat), dan seterusnya.

Untuk mengaktualisasikan nama-nama dan sifat-sifat itu memerlukan obyek. Sebab, bagaimana mungkin mengatakan Sang Khalik tanpa makhluk, Sang Mahapemberi tanpa obyek yang diberi, Sang Mahapenyayang tanpa obyek yang disayangi, Sang Mahapengampun dan Sang Penerima Taubat tanpa ada obyek yang melakukan kesalahan atau kekurangan untuk diampuni.

Dari sini dapat dipahami, Tuhan menimbulkan realitas dan realitas menimbulkan entitas. Asal-usul penciptaan keragaman makhluk yang berasal dari Mahaesa rupanya dibahas juga di dalam agama-agama lain. Kadang-kadang, pembahasan agama lain dapat digunakan untuk memahami dalil-dalil penciptaan makhluk di dalam Islam.

Dalam Taoisme, relasi Sang Khalik dan makhluk-Nya dijelaskan dalam konsep ”Dualitas Ilahi” (The Duality of God), sebagaimana pernah dibahas dalam artikel terdahulu. Interaksi antara Yang/Muatstsir dan Yin/Ma’tsur menimbulkan jutaan hal (al-katsrah).

Dalam literatur tasawuf Yahudi (Kabbalah), Maqam Ahadiyyah dihubungkan dengan Ein Sof yang memanifestasikan diri melalui proses emanasi, maka lahirlah sefirot.
Interaksi Ein Sof dan sefirot merupakan dua hal yang tak terpisahkan sebagaimana halnya Maqam Ahadiyyah dan Maqam Wahidiyyah. Sefirot nanti menjadi jutaan manifestasi, namun satu sama lainnya tak terpisahkan dengan Sang Substansi (Ein Sof).


Para kabbalis juga mempunyai persamaan dengan kalangan sufi tentang keesaan Tuhan. Kalangan sufi dan kabbalis sangat berhati-hati menjelaskan hal ini karena bisa jatuh ke dalam apa yang disebut dengan ”kesesatan”.

Para teolog dan fukaha (ahli hukum) sering mempertanyakan bahkan menyesatkan para sufi dan kabbalis karena tuduhan memperkenalkan konsep kekadiman ganda (ta’addud al-qudama). Dalam Hindu juga dikenal dengan konsep Atna-Brahma yang dapat digunakan untuk membandingkan konsep keesaan dalam keberagaman.

Dalam agama ini dikenal ada dua jalan untuk mengenal, mendekatkan, dan menyatukan diri dengan Tuhan, yaitu jalan dari luar dan jalan dari dalam diri. Jalan pertama dapat membantu seseorang mengenal Tuhan melalui penyaksian Tuhan yang ada di mana-mana.

Di manapun seseorang berada di situ dapat menyaksikan wajah Tuhan ada di mana-mana. Alam raya (cosmos) sebagai omnipresent Tuhan merujuk kepada Brahma. Untuk sampai kepada pengenalan dan penghayatan seperti ini diperlukan pengabdian, kesetiaan, dan kesalehan secara individu dan sosial.

Adapun jalan kedua dapat membantu seseorang untuk mengenal Tuhan melalui penghayatan mendalam terhadap diri sendiri. Kesadaran bahwa Tuhan bersama kita dan Ia ada lebih dalam dari organ tubuh kita sendiri merupakan kesadaran terhadap Tuhan yang lebih tinggi (Atma).

Untuk sampai ke martabat ini diperlukan kontemplasi dan penyucian jiwa, yang dalam dunia tasawuf mungkin dapat dipadankan dengan konsep tafakur dan tadzakkur untuk pembersihan jiwa (al-tadzkiyah al-nafs).

Jadi, sesungguhnya keesaan dalam keragaman atau keragaman dalam keesaan diakui hampir di semua agama. Hanya saja untuk sampai ke pemahaman seperti ini diperlukan kesadaran yang lebih tinggi. Hanyalah orang yang berada dalam makam tertentu bisa melihat dan merasakan hakikat keberadaan Yang Maha Esa di dalam keberagaman wujud.

No comments:

Post a Comment