Sejak berakhirnya Perang Dunia II, gelombang demokrasi telah meluas ke berbagai negara, tak terkecuali negara-negara berpenduduk Muslim.
Wacana demokrasi dan Islam yang kerap diwarnai pro dan kontra selalu menarik untuk diperbincangkan.
''Hubungan antara Islam dan demokrasi dalam dunia saat ini begitu kompleks,'' ungkap John L Esposito dan John O Voll dalam tulisan mereka berjudul Islam and Democracy. Lalu bisakah demokrasi dan Islam bisa cocok (compatible) dan berdampingan?
Konon, demokrasi berakar dari peradaban bangsa Yunani Kuno pada 500 SM. Dari negeri itulah, asal kata democratia, yang demos berarti rakyat dan cratia berarti pemerintahan. Chleisthenes—tokoh pada masa itu—dianggap banyak memberi kontirbusi dalam pengembangan demokrasi.
Chleisthenes adalah tokoh pembaharu Athena yang menggagas sebuah sistem pemerintahan kota. Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athena ke dalam 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa demos yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil.
Sejatinya, jauh sebelum bangsa Yunani mengenal demokrasi. Para ilmuwan meyakini, bangsa Sumeria yang tinggal di Mesopotamia juga telah mempraktikkan bentuk-bentuk demokrasi.
Konon, masyarakat India Kuno pun telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan mereka, jauh sebelum Yunani dan Romawi. ''Demokrasi muncul dari pemikiran manusia,'' ungkap Aristoteles seorang pemikir termasyhur dari Yunani.
Gagasan demokrasi yang berkembang di Yunani sempat hilang di barat, saat Romawi Barat takluk ke tangan suku Jerman. Pada abad pertengahan, Eropa Barat menganut sistem feodal. Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus dan pejabat agama Lawuja.
Magna Charta yang lahir pada 1215 dianggap sebagai jalan pembuka munculnya kembali demokrasi di Barat. Pada masa itu, muncullah pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi seperti, John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755).
Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika Eropa bangkit di abad pencerahan. Pada masa itulah lahir pemikiran-pemikiran besar tentang relasi antara penguasa dengan rakyat, atau negara dan masyarakat.
Secara sederhana, Ulf Sundhaussen, dalam karyanya bertajuk Demokrasi dan Kelas Menengah, menyebutkan beberapa kriteria demokrasi.
Pertama, adanya jaminan hak bagi setiap warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang diadakan secara berkala dan bebas. Kedua, setiap warga negara menikmati kebebasan berbicara, berorganisasi, mendapatkan informasi, serta beragama. Ketiga, dijaminnya kesamaan hak di depan umum.
Sementara itu, Joseph Schumpter dalam Capitalism, Socialism and Democracy, menyatakan demokrasi sebagai mekanisme pasar. Para pemilih bertindak sebagai konsumen dan para politisi adalah wiraswastanya. Ide demokrasi terus mengalir hingga ke Timur Tengah pada pertengahan abad ke-19.
Gagasan demokrasi itu dibawa ke negara-negara berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam yang mempelajari budaya Barat. Para pemikir inilah yang kemudian menekankan pentingnya umat Islam untuk mengadopsi hukum-hukum Barat dengan cara selektif.
Wacana demokrasi dan Islam yang kerap diwarnai pro dan kontra selalu menarik untuk diperbincangkan.
''Hubungan antara Islam dan demokrasi dalam dunia saat ini begitu kompleks,'' ungkap John L Esposito dan John O Voll dalam tulisan mereka berjudul Islam and Democracy. Lalu bisakah demokrasi dan Islam bisa cocok (compatible) dan berdampingan?
Konon, demokrasi berakar dari peradaban bangsa Yunani Kuno pada 500 SM. Dari negeri itulah, asal kata democratia, yang demos berarti rakyat dan cratia berarti pemerintahan. Chleisthenes—tokoh pada masa itu—dianggap banyak memberi kontirbusi dalam pengembangan demokrasi.
Chleisthenes adalah tokoh pembaharu Athena yang menggagas sebuah sistem pemerintahan kota. Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athena ke dalam 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa demos yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil.
Sejatinya, jauh sebelum bangsa Yunani mengenal demokrasi. Para ilmuwan meyakini, bangsa Sumeria yang tinggal di Mesopotamia juga telah mempraktikkan bentuk-bentuk demokrasi.
Konon, masyarakat India Kuno pun telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan mereka, jauh sebelum Yunani dan Romawi. ''Demokrasi muncul dari pemikiran manusia,'' ungkap Aristoteles seorang pemikir termasyhur dari Yunani.
Gagasan demokrasi yang berkembang di Yunani sempat hilang di barat, saat Romawi Barat takluk ke tangan suku Jerman. Pada abad pertengahan, Eropa Barat menganut sistem feodal. Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus dan pejabat agama Lawuja.
Magna Charta yang lahir pada 1215 dianggap sebagai jalan pembuka munculnya kembali demokrasi di Barat. Pada masa itu, muncullah pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi seperti, John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755).
Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika Eropa bangkit di abad pencerahan. Pada masa itulah lahir pemikiran-pemikiran besar tentang relasi antara penguasa dengan rakyat, atau negara dan masyarakat.
Secara sederhana, Ulf Sundhaussen, dalam karyanya bertajuk Demokrasi dan Kelas Menengah, menyebutkan beberapa kriteria demokrasi.
Pertama, adanya jaminan hak bagi setiap warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang diadakan secara berkala dan bebas. Kedua, setiap warga negara menikmati kebebasan berbicara, berorganisasi, mendapatkan informasi, serta beragama. Ketiga, dijaminnya kesamaan hak di depan umum.
Sementara itu, Joseph Schumpter dalam Capitalism, Socialism and Democracy, menyatakan demokrasi sebagai mekanisme pasar. Para pemilih bertindak sebagai konsumen dan para politisi adalah wiraswastanya. Ide demokrasi terus mengalir hingga ke Timur Tengah pada pertengahan abad ke-19.
Gagasan demokrasi itu dibawa ke negara-negara berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam yang mempelajari budaya Barat. Para pemikir inilah yang kemudian menekankan pentingnya umat Islam untuk mengadopsi hukum-hukum Barat dengan cara selektif.
Salah satu pemikir Islam yang menekankan hal itu adalah Muhammad Abduh (1848-1905), seorang pembaru pemikiran Islam di Mesir.
Melalui Al-Manar, Abduh menekankan pentingnya penguatan moral akar rumput masyarakat Islam dengan kembali ke masa lalu, namun mengakui dan menerima kebutuhan untuk berubah, serta menghubungkan perubahan itu dengan ajaran Islam. Abduh meyakini Islam dapat mengadopsi untuk berubah sekaligus mengendalikan perubahan itu.
''Islam dapat menjadi basis moral sebuah masyarakat yang progresif dan modern,'' kata Abduh. Seabad kemudian, banyak negara Muslim di dunia yang memilih demokrasi untuk diterapkan dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World membagi pandangan umat Islam terhadap demokrasi ke dalam dua kelompok, yakni liberal dan konservatif.
Para pendukung Islam liberal dipengaruhi Muhammad Abduh. Kelompok ini menyatakan bahwa agama Islam tak bertentangan dengan perspektif sekuler.
Menurut kelompok ini, Islam mendorong umatnya untuk mendirikan pemerintahan yang berbasis pada pemikiran modern. Tiga konsep yang menjadi perhatian penganut kelompok Islam liberal adalah syura (musyawarah), al-maslahah (kepentingan umum), dan ‘adl (keadilan).
Kelompok ini memandang tidak ada kesepakatan di antara ilmuwan Islam mengenai syura. Meski begitu, pada dasarnya mereka sepakat pada ayat Alquran yang memerintahkan Nabi untuk berkonsultasi dengan penasehatnya.
Penganut paham liberal juga meyakini Muslim yang baik perlu bermusyawarah dengan orang lain untuk membangun hubungan. Bagi mereka, demokrasi tak bertentangan dengan Islam.
Sementara itu, kelompok konservatif menyatakan kedaulatan bukan berada di tangan manusia, tetapi di tangan Tuhan. Pandangan kelompok konservatif banyak dipengaruhi pemikiran ulama asal Mesir, Sayyid Qutb (1906-1966). Ia menyatakan, sistem negara-negara Arab yang tak Islami sebagai bagian dari jahiliyah modern.
Menurut Sayyid Qutb, banyak aspek yang berlaku dalam kehidupan modern, termsuk institusi dan kepercayaan barat sebagai kejahatan dan bertentangan dengan Islam. Dia meyakini universalitas dan kesempurnaan Islam sangat cocok bagi setiap orang tanpa memandang tempat dan waktu. Syariah menjadi sumber aturan kehidupan.
Pemikir Islam lainnya, Hasan Al-Turabi, menyatakan sistem sosial dan politik perlu didasarkan pada tauhid. Menurut dia, syura dan tauhid bergandengan tangan. ''Syura dibutuhkan untuk menerjemahkan syariah dalam berhubungan dengan konstitusi, hukum, sosial dan masalah-masalah ekonomi,'' papar Al-Turabi.
Bagi kelompok konservatif, syura sangat berbeda dengan gaya demokrasi Barat. Begitulah umat Islam memandang demokrasi.
''Islam dapat menjadi basis moral sebuah masyarakat yang progresif dan modern,'' kata Abduh. Seabad kemudian, banyak negara Muslim di dunia yang memilih demokrasi untuk diterapkan dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World membagi pandangan umat Islam terhadap demokrasi ke dalam dua kelompok, yakni liberal dan konservatif.
Para pendukung Islam liberal dipengaruhi Muhammad Abduh. Kelompok ini menyatakan bahwa agama Islam tak bertentangan dengan perspektif sekuler.
Menurut kelompok ini, Islam mendorong umatnya untuk mendirikan pemerintahan yang berbasis pada pemikiran modern. Tiga konsep yang menjadi perhatian penganut kelompok Islam liberal adalah syura (musyawarah), al-maslahah (kepentingan umum), dan ‘adl (keadilan).
Kelompok ini memandang tidak ada kesepakatan di antara ilmuwan Islam mengenai syura. Meski begitu, pada dasarnya mereka sepakat pada ayat Alquran yang memerintahkan Nabi untuk berkonsultasi dengan penasehatnya.
Penganut paham liberal juga meyakini Muslim yang baik perlu bermusyawarah dengan orang lain untuk membangun hubungan. Bagi mereka, demokrasi tak bertentangan dengan Islam.
Sementara itu, kelompok konservatif menyatakan kedaulatan bukan berada di tangan manusia, tetapi di tangan Tuhan. Pandangan kelompok konservatif banyak dipengaruhi pemikiran ulama asal Mesir, Sayyid Qutb (1906-1966). Ia menyatakan, sistem negara-negara Arab yang tak Islami sebagai bagian dari jahiliyah modern.
Menurut Sayyid Qutb, banyak aspek yang berlaku dalam kehidupan modern, termsuk institusi dan kepercayaan barat sebagai kejahatan dan bertentangan dengan Islam. Dia meyakini universalitas dan kesempurnaan Islam sangat cocok bagi setiap orang tanpa memandang tempat dan waktu. Syariah menjadi sumber aturan kehidupan.
Pemikir Islam lainnya, Hasan Al-Turabi, menyatakan sistem sosial dan politik perlu didasarkan pada tauhid. Menurut dia, syura dan tauhid bergandengan tangan. ''Syura dibutuhkan untuk menerjemahkan syariah dalam berhubungan dengan konstitusi, hukum, sosial dan masalah-masalah ekonomi,'' papar Al-Turabi.
Bagi kelompok konservatif, syura sangat berbeda dengan gaya demokrasi Barat. Begitulah umat Islam memandang demokrasi.
Syura, model demokrasi IslamSelepas wafatnya Rasulullah SAW pada 12 Rabiul Awal 11 H, para sahabat memutuskan untuk mencari tokoh yang dapat memimpin umat Islam.
Sebelum Rasulullah wafat, beliau tidak menunjuk pengganti atau mewariskan kepemimpinannya kepada seseorang. Suksesi kepemimpinan pada waktu itu dilakukan para sahabat dengan musyawarah (syura) dan pemilihan.
Masyarakat Islam dengan sukarela dan tanpa paksaan mengakui dan menyetujui empat sahabat Rasulullah, secara berurutan, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, menjadi Khulafa' Ar-Rasyidin (para pengganti yang memberi bimbingan). Pemilihan dan musyawarah dilakukan sesuai dengan kondisi saat itu.
Sejak saat itulah, kemudian muncul istilah syura dalam kehidupan politik, sosial, dan kemasyarakatan umat Islam. Syura berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi.
Dalam Surah Ali Imran ayat 159 Allah SWT berfirman, ''Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila telah berbulat tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang betawakal kepada-Nya.''
Dengan ayat itu, Islam menjadikan syura sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijakan politik.
Setiap orang yang bermusyawarah tentu akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga masalah atau persoalan yang dihadapi bisa diselesaikan. Jika para pemimpin masyarakat, politik dan pemerintahan mengikutsertakan rakyat untuk memusyawarahkan suatu urusan, maka rakyat akan memahaminya dan ikut berpartisipasi dalam melaksanakannya.
Dengan begitu rakyat terhindar dari kesewenang-wenangan. Melalui ayat itu pula, Allah melarang para pemimpin umat memutuskan suatu urusan dengan sewenang-wenang tanpa memerhatikan aspirasi umat.
Al-Qurtubi, seorang mufasir, menyatakan, musyawarah adalah salah satu kaidah syara dalam ketentuan hukum yang harus ditegakkan. “Maka barangsiapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) maka harus dipecat,'' tegasnya.
Bentuk pelaksanaan syura memang tak ada yang menjelaskannya. Nabi Muhammad SAW yang gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya tak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Sehingga bentuk pelaksanaan syura bisa disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.
Sebelum Rasulullah wafat, beliau tidak menunjuk pengganti atau mewariskan kepemimpinannya kepada seseorang. Suksesi kepemimpinan pada waktu itu dilakukan para sahabat dengan musyawarah (syura) dan pemilihan.
Masyarakat Islam dengan sukarela dan tanpa paksaan mengakui dan menyetujui empat sahabat Rasulullah, secara berurutan, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, menjadi Khulafa' Ar-Rasyidin (para pengganti yang memberi bimbingan). Pemilihan dan musyawarah dilakukan sesuai dengan kondisi saat itu.
Sejak saat itulah, kemudian muncul istilah syura dalam kehidupan politik, sosial, dan kemasyarakatan umat Islam. Syura berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi.
Dalam Surah Ali Imran ayat 159 Allah SWT berfirman, ''Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila telah berbulat tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang betawakal kepada-Nya.''
Dengan ayat itu, Islam menjadikan syura sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijakan politik.
Setiap orang yang bermusyawarah tentu akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga masalah atau persoalan yang dihadapi bisa diselesaikan. Jika para pemimpin masyarakat, politik dan pemerintahan mengikutsertakan rakyat untuk memusyawarahkan suatu urusan, maka rakyat akan memahaminya dan ikut berpartisipasi dalam melaksanakannya.
Dengan begitu rakyat terhindar dari kesewenang-wenangan. Melalui ayat itu pula, Allah melarang para pemimpin umat memutuskan suatu urusan dengan sewenang-wenang tanpa memerhatikan aspirasi umat.
Al-Qurtubi, seorang mufasir, menyatakan, musyawarah adalah salah satu kaidah syara dalam ketentuan hukum yang harus ditegakkan. “Maka barangsiapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) maka harus dipecat,'' tegasnya.
Bentuk pelaksanaan syura memang tak ada yang menjelaskannya. Nabi Muhammad SAW yang gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya tak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Sehingga bentuk pelaksanaan syura bisa disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.
No comments:
Post a Comment