Tuesday, July 17, 2012

Matematika dan Islam

“Setiap kehidupan adalah matematis,'' cetus Prof Abdulalim Abdullah Shabazz, seorang guru besar matematika di Clark Atlanta University, AS.

Tokoh Islam di Amerika, Malcolm X menyatakan, matematika adalah hidup, dan hidup adalah matematika.

Lebih dari itu, Galileo dari Galilea menegaskan bahwa matematika merupakan bahasa yang digunakan Tuhan dalam menulis alam semesta. Asal-muasal matematika yang berasal dari bahasa Yunani m thema (sains, ilmu pengetahuan atau belajar) telah muncul sejak 3000 SM.

Adalah bangsa Sumeria yang hidup di daerah Mesopotamia, lewat lembaran tanah liat, diketahui sudah mulai menggunakan angka untuk pertama kalinya. Jejak matematika juga ditemukan dalam Plimpton—matematika Babilonia yang bertarikh 1900 SM.

Matematika lahir dari tuntutan kebutuhan hidup. Tak heran, bila kemudian ilmu hitung memegang peranan yang amat penting dalam kehidupan manusia. Berkat matematikalah, manusia dapat melakukan aktivitas perdagangan, mengukur tanah serta memprediksi peristiwa dalam astronomi. “Angka-angka mengatur segalanya,” ujar Phitagoras, ahli matematika Yunani.

Kesadaran umat Islam akan pentingnya menguasai matematika baru muncul pada akhir abad ke-8 M. Ahli sejarah Carl B Boyer, dalam History of Mathematics menyatakan, awal abad pertama penaklukan yang dilakukan bangsa Arab adalah masa kebingungan politik dan intelektual. Menurut Boyer, baru pada 750 M, umat Islam mulai menyadari pentingnya melakukan transfer pengetahuan dari bangsa-bangsa yang ditaklukkannya.

Di bawah pimpinan Khalifah Al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah, puluhan buku matematika yang penting dari Yunani dan Hindu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Salah seorang penerjemah buku-buku matematika dari Yunani itu Tsabit bin Qurrah (836-901), seorang ahli matematika Nasrani.

Arithmetic karya Nicomachus dari Gerasa yang hidup sekitar 100 M, merupakan salah satu buku yang diterjemahkannya. Tak cuma itu, sederet buku lainnya yang ditulis, Euclid, Archimedes, Apollonius, Ptolemy dan Eutocius juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Elemen-elemen Euclid diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Al-Hajjaj bin Yusuf ibnu Mahar (786-833). Tak heran, bila para ahli sejarah menyatakan, matematika Yunani, India dan Mesopotamia memegang peranan penting dalam perkembangan awal matematika Islam.

Buah pikir ahli matematika seperti Euclid, Apollonius, Archimedes, Diophantus, Aryabhata dan Brahmagupta telah menjadi rujukan utama bagi ilmuwan Muslim yang mendalami ilmu tersebut.

Ghirah keilmuwan yang menyelimuti umat Islam ketika itu telah membuat transfer ilmu pengetahuan berkembang begitu cepat.

Berdirinya perpustakaan besar Bait Al-Hikmah di Baghdad yang dibangun Khalifah Al-Ma'mun telah melecut semangat para ilmuwan dan intelektual Islam dalam melahirkan karya-karya yang baru.

Apalagi, pada saat itu ilmuwan dan intelektual begitu dihargai dan digaji dengan bayaran yang luar biasa besar. Dalam waktu yang tak terlalu lama, era tamadun Islam itu telah melahirkan sejumlah ilmuwan Islam yang memberi kontribusi dalam mengembangkan matematika.

Salah satu ilwuwan yang tersohor adalah Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi (780-850 M). Al-Khawarizmi yang dikenal di dunia Barat dengan sebutan Algorisme itu telah melahirkan karya-karya yang diakui dalam bidang matematika.

Pada 830 M, Al-Khawarizmi telah melahirkan sebuah buku yang berjudul Al-Jabr wa Al-Muqabala. Dari buku itulah kata Aljabar diperoleh. Kitab Al-Jabr wa Al-Muqabala diterjemahkan ke dalam bahasa latin berjudul Liber Algebrae et Almucabala oleh Robert of Chester dan Gerard of Cremona.

Aljabar merupakan penggabungan teori bilangan-bilangan rasional, irasional, dan geometri. Konsep yang ditawarkan Al-Khawarizmi itu memberi dimensi dan pengembangan teori matematika yang benar-benar baru.

Metode Al-Khawarizmi dalam menyelesaikan linear dan notasi kuadrat dilakukan dengan mereduksi notasi ke dalam enam bentuk standar (di mana b dan c adalah angka positif). Angka ekual kuadrat (ax2 = c), angka ekual akar (bx = c), kuadrat dan akar ekual (ax2 + bx = c), kuadrat dan angka akar ekual (ax2 + c = bx), akar dan angka kuadrat ekual (bx + c = ax2) dan kuadrat ekual akar (ax2 = bx).

Ilmuwan matematika Islam lainnya, yang juga turut memberi sumbangan yang besar bagi pengembangan matematika, khususnya Aljabar, adalah Omar Khayyam. Ia mampu menjabarkan akar pangkat tiga dalam bentuk sketsa gambar kerucut tapi belum mampu menemukan rumus pemecahannya. Aljabar mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12.

Ilmu matematika yang dipelajari dan diajarkan Al-Khawarizmi telah menghasilkan konsep-konsep matematika yang begitu populer, dan masih tetap digunakan hingga saat ini. Bahkan, angka nol (0) yang ada saat ini juga merupakan kontribusi ilmuwan Islam.
Angka nol itu dibawa ke Eropa oleh Leonardo Fibonanci dalam karyanya, Liber Abaci. Kehadiran angka nol itu sempat ditolak kalangan gereja Kristen. Angka nol telah membawa implikasi yang amat besar dalam seluruh aspek kehidupan dan peradaban manusia. Tanpa itu, revolusi digital mustahil bisa terjadi.

Kontribusi Islam dalam matematika juga telah melahirkan istilah kosinus, sinus, dan tangen dalam trigonometri penyelesaian persamaan.

Selain itu, berkat jasa ilmuwan Islam pula, saat ini masyarakat dunia bisa mengukur luas segi tiga, segi empat dan lingkaran dalam geometri.

Kontribusi ilmuwan Islam dalam mengembangkan matematikan telah diakui dunia Barat. JJ O'Conner dan EF Robertson dalam MacTutor History of Mathematics berkata, “Kami (Barat) berhutang jasa terhadap matematika Islam.”

Menurut mereka, begitu banyak ide-ide brilian yang berkembang dalam bidang matematika Eropa pada abad ke-16, 17 dan 18 ternyata merupakan hasil pemikiran ahli matematika Arab/Islam. Matematika yang berkembang di dunia Islam, papar O'Conner dan Robertson, lebih cepat empat abad dibanding Eropa.
Pengaruh matametika yang ditularkan ilmuwan Islam terhadap Barat begitu dominan dibandingkan matematika Yunani. “Dengan segala hormat, studi matematika saat ini di Eropa lebih dekat dengan gaya matematika Islam ketimbang matematika Yunani,” imbuh O'Conner dan Robertson.

Ahli Matematika, Keith Devlin dalam tulisannya berjudul Mathematical Legacy of Islam mengungkapkan, sekolah-sekolah katedral di Eropa mulai melek matematika sekitar abad ke-10. Sarjana Katolik pun tertarik untuk menguasai ilmu hitung dengan mendatangi Spanyol, yang ketika itu didominasi peradaban Islam yang berkembang pesat.

Menurut Devlin, mereka yang berguru matematika dari Islam itu antara lain Gerbert d'Aurillac (945-1003 M), yang kemudian menjadi Paus Sylvester II. Selepas belajar matematik di Spanyol, dia kemudian mendirikan sekolah katedral dan mengajarkan aritmatika dan geometri kepada para muridnya.

Transfer matematika dari dunia Islam ke Barat dilakukan dengan cara menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan Islam. Dengan menguasai matematika, Barat kini menggenggam dunia.
Sumbangan ahli matematika Islam
1. Aritmatika
Aritmatika berasal dari bahasa Yunani yang berarti angka. Dulu disebut ilmu hitung dan merupakan cabang matematika yang mempelajari operasi dasar bilangan.

Al-Khawarizmi membahas aritmatika dalam bukunya, Calculation with Hindu Numerals. Ahli matematika Arab lainnya, Al-Kindi, mengupas aritmatika dalam kitabnya yang berjudul Kitab fi Isti'mal Al-'Adad Al-Hindi dalam empat volume.

Pada abad ke-10, ahli matematika Timur Tengah mengembangkan sistem angka desimal ke dalam pecahan dengan menggunakan tanda titik desimal. Ini dikembangkan oleh ahli matematika Suriah, Abul-Hasan Al-Uqlidisi (952-953 M). Di dunia Arab—sampai zaman modern—sistem angka Arab hanya digunakan oleh ahli matematika.

2. Kalkulus
Kalkulus berasal bahasa Latin, calculus, yang berarti batu kecil. Kalkulus merupakan cabang ilmu matematika yang mencakup limit, turunan, integral, dan deret tak terhingga. Kalkulus mempunyai aplikasi yang luas dalam bidang sains dan teknik dan digunakan untuk memecahkan masalah yang kompleks—aljabar tidak cukup untuk menyelesaikannya.

Ahli matematika Islam yang berperan mengkaji kalkulus adalah Al-Karaji. Sejarawan matematika, F Woepcke memuji Al-Karaji karena dianggap sebagai ilmuwan pertama yang memperkenalkan terori kalkulus aljabar.

Setelah itu, Ibnu Haitham atau yang dikenal sebagai Alhazen di Barat juga ikut berkontribusi dalam menghasilkan rumus terkait kalkulus. Pada abad ke-12, ahli matematika Persia, Sharaf Al-Din Al-Tusi, juga tercatat sebagai penemu turunan polynominal kubik—sebuah hasil yang penting dalam diferensial kalkulus.

3.Geometri
Secara harfiah, geometri berarti pengukuran tentang bumi. Geometri adalah cabang matematika yang mempelajari hubungan di dalam ruang. Dari pengalaman, atau mungkin secara intuitif, orang dapat mengetahui ruang dari ciri dasarnya, yang diistilahkan sebagai aksioma dalam geometri.

Peran ahli matematika Islam dalam geometri begitu besar. Selain Al-Khawarizmi, ahli matematika Islam lainnya yang menaruh perhatian terhadap geometri adalah Al-Mahani. Dia menyusun ide pengurangan masalah-masalah geometrik, seperti turunan kubus ke dalam masalah-masalah dalam aljabar.

Ilmuwan Islam lainnya yang mengkaji geometri adalah Al-Karaji. Dia membebaskan aljabar dari operasi geometrik dan menggantinya dengan operasi tipe aritmetika yang menjadi inti aljabar saat ini.

4.Trigonometri
Trigonometri merupakan adalah sebuah cabang matematika yang berhadapan dengan sudut segi tiga dan fungsi trigonometrik seperti sinus, cosinus, dan tangen. Trigonometri berasal dari India. Ahli matematika Islam menerjemahkan dan mengembangkannya. Dalam trigonometri, Al-Khawarizmi berhasil menyusun tabel sinus dan tangen. Selain itu, bapak aljabar itu juga mengembangkan spherical trigonometry (trigonometri berbentuk bola).

Pada abad ke-10, ahli matematika Muslim menggunakan enam fungsi trigonometri secara keseluruhan. Ahli matemetika Islam lainnya, Abu Al-Wafa', juga berhasil membuat rumus trigonometri: Sin 2x = 2 sin x cos x.

Sejumlah ahli matematika Muslim lainnya yang memberi kontribusi dalam trigonometri adalah Omar Khayyam. Al-Jayyani, ahli matematika Islam di Spanyol menulis risalah pertama tentang spherical trigonometri. Nasir Al-Din Al-Tusi juga ikut memberi kontribusi dalam trigonometri.
Al-Khawarizmi, Bapak Aljabar dari BukharaDunia Barat menyebutnya sebagai Algebra. Sejatinya, ilmuwan matematika, astronomi, astrologi dan geografi kelahiran Bukhara, Uzbekistan, 780 itu bernama Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi.

Sebagian besar hidup Al-Khawarizmi didedikasikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan di Sekolah Kehormatan yang didirikan Khalifah Al-Ma'mun di Baghdad, Irak.

Sederet karya lahir dari buah pikirnya. Aljabar merupakan buku pertama karya Khawarizmi yang membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat. Tak heran, bila kemudian dunia mendaulatnya sebagai Bapak Aljabar.

Berkat jasanya pula, sistem penomoran posisi desimal terlahir. Kontribusinya yang begitu berdampak besar tak hanya dalam matematika. Dalam masalah kebahasaan pun, Khawarizmi begitu berpengaruh.

Kata logarisme dan logaritma yang diambil dari kata Algorismi merupakan Latinisasi dari namanya. Nama Al-Khawarizmi juga diserap kedalam bahasa Spanyol, Guarismo, dan dalam bahasa Portugis, Algarismo, yang berarti digit.

Ilmuwan Islam yang bergelar Abu Ja'far itu antara lain telah melahirkan berbagai karya seperti; Sistem Nomor lewat kitabnya berjudul Mufatih Al-Ulum yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, De Numero Indorum. Selain itu, kitab Al-Jami wa Al-Tafsir bi Hisab Al-Hind, merupakan hasil pemikiran Khwawarizmi.

Kitab tentang aljabar lainnya yang ditulis Khawarizmi adalah Al-Mukhtasar Fi Hisab Al-Jabr wa Al-Muqabalah. Kitab ini diterbitkan pada 820 M. Khawarizmi juga menulis kitab berjudul Al-Jabr wa Al-Muqabalah yang membahas penggunaan secans dan tangens dalam penyelidikan trigonometri dan astronomi. Kitab yang paling fenomenal adalah Hisab Al-Jabr wa Al-Muqabalah.

Al-Khawarizmi merupakan sarjana matematika Islam yang diakui kehebatannya oleh sarjana Barat. G Sarton pernah menyatakan bahwa pencapaian-pencapaian tertinggi telah diperoleh oleh orang-orang Timur, terutama Al-Khawarizmi. Dalam pandangan Wiedmann, Al-Khawarizmi adalah ilmuwan yang meniliki kepribadian yang teguh dan bijaksana.





Friday, July 13, 2012

Keesaan Dalam Keberagaman

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Keesaan dalam keragaman atau keragaman dalam keesaan diakui hampir di semua agama. Hanya saja untuk sampai ke pemahaman seperti ini diperlukan kesadaran yang lebih tinggi.

Hanyalah orang yang berada di dalam makam tertentu bisa melihat dan merasakan hakikat keberadaan Yang Mahaesa di dalam keberagaman wujud.

Berawal dari keinginan Allah SWT untuk memperkenalkan diri-Nya, sebagaimana diungkapkan di dalam hadis Qudsi, “Aku pada mulanya harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.”

Sebelum Allah SWT memperkenalkan diri-Nya maka tidak ada yang bisa mengerti Allah SWT selain Diri-Nya. Allah SWT ketika itu masih tetap pada puncak dari segala puncak rahasia (sirr al-asrar) atau dalam Islatilah Ibnu Arabi Allah SWT dalam kapasitasnya sebagai Ahadiyah.

Ketika Ia mau memperkenalkan diri-Nya, maka Ia memperkenalkan identitas diri-Nya yang oleh para teolog (mutakallimin) lebih dikenal dengan nama-nama-Nya (al-Asma) dan oleh para sufi lebih dikenal dengan sifat-sifat-Nya (al-Aushaf).

Keberadaan potensi dan aktualisasi di tingkat awal ini sudah pernah dibahas di dalam artikel terdahulu di dalam konsep al-A'yan al-Tsabitah, yakni sebuah keberadaan yang masih bersifat potensial dan tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan (Ilmiyyah al-Haq). Keberadaan ini juga sering disebut berada pada level Wahidiyyah.

Keberadaan ini belum berada pada level alam yang sudah merupakan keberadaan aktualitas yang konkret (maujud/existence) atau menurut Ibnu Arabi disebut dengan al-A'yan al-Kharijiyyah, yakni sesuatu yang berwujud di level konkret melalui proses emanasi agung (al-faidh al-muqaddas).

Keberadaan entitas-entitas ini merupakan hasil emanasi awal (al-tajalli al-awwal/al-faidh al-aqdas). Proses emanasi agung melahirkan al-A’yan al-Kharijiyyah, yaitu keberadaan yang sudah aktual, bukan lagi keberadaan potensial. Disebut demikian karena berada di lingkaran luar dari al-A’yan al-Tsabitah. Keberadaan yang terakhir ini tidak lagi disebut entitas tetap (al-tsabit) karena sudah bersifat aktual dan menerima perubahan (al-hawadits).

Wujud potensial berupa nama-nama atau sifat-sifat ini menuntut aktualisasi. Allah SWT sebagai Tuhan Yang Disembah (Rab/Ilah), maka sudah barang tentu memerlukan penyembah (marbub/makhluk).

Contoh lain, Allah SWT memiliki sejumlah nama atau sifat, seperti al-Khaliq (Mahapencipta), al-Wahhab (Mahapemberi), al-Rahim (Mahapenyayang), dan al-Gafur (Mahapengampun), dan al-Tawwab (Mahapenerima taubat), dan seterusnya.

Untuk mengaktualisasikan nama-nama dan sifat-sifat itu memerlukan obyek. Sebab, bagaimana mungkin mengatakan Sang Khalik tanpa makhluk, Sang Mahapemberi tanpa obyek yang diberi, Sang Mahapenyayang tanpa obyek yang disayangi, Sang Mahapengampun dan Sang Penerima Taubat tanpa ada obyek yang melakukan kesalahan atau kekurangan untuk diampuni.

Dari sini dapat dipahami, Tuhan menimbulkan realitas dan realitas menimbulkan entitas. Asal-usul penciptaan keragaman makhluk yang berasal dari Mahaesa rupanya dibahas juga di dalam agama-agama lain. Kadang-kadang, pembahasan agama lain dapat digunakan untuk memahami dalil-dalil penciptaan makhluk di dalam Islam.

Dalam Taoisme, relasi Sang Khalik dan makhluk-Nya dijelaskan dalam konsep ”Dualitas Ilahi” (The Duality of God), sebagaimana pernah dibahas dalam artikel terdahulu. Interaksi antara Yang/Muatstsir dan Yin/Ma’tsur menimbulkan jutaan hal (al-katsrah).

Dalam literatur tasawuf Yahudi (Kabbalah), Maqam Ahadiyyah dihubungkan dengan Ein Sof yang memanifestasikan diri melalui proses emanasi, maka lahirlah sefirot.
Interaksi Ein Sof dan sefirot merupakan dua hal yang tak terpisahkan sebagaimana halnya Maqam Ahadiyyah dan Maqam Wahidiyyah. Sefirot nanti menjadi jutaan manifestasi, namun satu sama lainnya tak terpisahkan dengan Sang Substansi (Ein Sof).


Para kabbalis juga mempunyai persamaan dengan kalangan sufi tentang keesaan Tuhan. Kalangan sufi dan kabbalis sangat berhati-hati menjelaskan hal ini karena bisa jatuh ke dalam apa yang disebut dengan ”kesesatan”.

Para teolog dan fukaha (ahli hukum) sering mempertanyakan bahkan menyesatkan para sufi dan kabbalis karena tuduhan memperkenalkan konsep kekadiman ganda (ta’addud al-qudama). Dalam Hindu juga dikenal dengan konsep Atna-Brahma yang dapat digunakan untuk membandingkan konsep keesaan dalam keberagaman.

Dalam agama ini dikenal ada dua jalan untuk mengenal, mendekatkan, dan menyatukan diri dengan Tuhan, yaitu jalan dari luar dan jalan dari dalam diri. Jalan pertama dapat membantu seseorang mengenal Tuhan melalui penyaksian Tuhan yang ada di mana-mana.

Di manapun seseorang berada di situ dapat menyaksikan wajah Tuhan ada di mana-mana. Alam raya (cosmos) sebagai omnipresent Tuhan merujuk kepada Brahma. Untuk sampai kepada pengenalan dan penghayatan seperti ini diperlukan pengabdian, kesetiaan, dan kesalehan secara individu dan sosial.

Adapun jalan kedua dapat membantu seseorang untuk mengenal Tuhan melalui penghayatan mendalam terhadap diri sendiri. Kesadaran bahwa Tuhan bersama kita dan Ia ada lebih dalam dari organ tubuh kita sendiri merupakan kesadaran terhadap Tuhan yang lebih tinggi (Atma).

Untuk sampai ke martabat ini diperlukan kontemplasi dan penyucian jiwa, yang dalam dunia tasawuf mungkin dapat dipadankan dengan konsep tafakur dan tadzakkur untuk pembersihan jiwa (al-tadzkiyah al-nafs).

Jadi, sesungguhnya keesaan dalam keragaman atau keragaman dalam keesaan diakui hampir di semua agama. Hanya saja untuk sampai ke pemahaman seperti ini diperlukan kesadaran yang lebih tinggi. Hanyalah orang yang berada dalam makam tertentu bisa melihat dan merasakan hakikat keberadaan Yang Maha Esa di dalam keberagaman wujud.

Wednesday, July 11, 2012

Simbolisme Huruf dan Angka

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Bagi para sufi, pemaknaan ayat—baik takwini maupun tadwini—tidak hanya pada teks, konteks, semantik, dan hermeneutik, tetapi juga semiotik.

Dalam artikel-artikel terdahulu diungkapkan bahwa betapa para sufi memandang ayat-ayat tersebut bagaikan gunung es, yang hanya menampilkan puncaknya yang tidak seberapa, tetapi yang teramat besar ialah substansi yang berada di bawah laut.

Terlalu naif kita jika hanya mampu memahami puncak gunung es tanpa menyelam ke dasar laut. Huruf-huruf dan angka-angka serta kombinasi di antara huruf-huruf dan angka-angka dimaknai secara komprehensif dan digunakan sebagai alamat (ayat) oleh mereka.

Kalangan sufi sangat yakin bahwa tidak ada ciptaan Allah SWT yang sia-sia tanpa makna dan pesan, sebagaimana dipahami di dalam ayat, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS Ali Imran: 191).

Bagi kalangan sufi, huruf-huruf abjad Arab yang digunakan Allah mengungkapkan firman-Nya bukan abjad biasa, tetapi memiliki kedalaman dan keluasan makna tersendiri. Dengan abjad Arablah Allah mengungkapkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Itulah sebabnya setiap umat Islam selayaknya, bahkan ada yang mengatakan wajib mengenali huruf-huruf hijaiyah yang digunakan di dalam Alquran.

Kekuatan abjad ataupun huruf yang kemudian membentuk kalimat, dihubungkan dengan ayat: “Katakanlah: ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)’.” (QS Al-Kahfi: 109).

Huruf-huruf dianggap salah satu cadar yang harus disingkap dengan kekuatan dan kearifan khusus. Selama seseorang masih terpaku hanya pada teks semata, menurut Niffari sebagaimana dikutip Annemarie Schimmel, berarti tidak ubahnya memberhalakan teks. Itu juga berarti pengingkaran terhadap substansi agama dan sudah barang tentu tidak mungkin mencapai puncak yang tidak berhuruf dan berbentuk itu.

Selain para sufi, para penyair Arab pun sangat concern terhadap huruf-huruf. Penyair (Arab) yang tidak mendalami makna abjad dan huruf sulit membuat syair yang lebih mendalam. Sejak pra-Islam sudah gandrung mendalami abjad atau huruf yang mereka hubungkan dengan bagian-bagian tubuh manusia.

Menurut Syibli, sebagaimana dikutip Schimmel, tidak ada sebuah huruf pun yang tidak memuji Allah dalam suatu bahasa.

“Ketika Allah menciptakan huruf-huruf itu, Ia menyembunyikan maknanya, dan ketika menciptakan Adam, baru Ia mengungkapkan maknanya. Namun, Ia tidak mengungkapkan hal itu kepada makhluk mana pun, termasuk malaikat,” ujar Syibli.

Hal ini bisa dihubungkan dengan rangkaian firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 31- 33, di mana Adam mendemonstrasikan makna “al-kalimah” yang membuat para malaikat takjub kepada Adam.

Tradisi pemaknaan huruf atau abjad sudah berlangsung jauh sebelum Islam. Tradisi Persia, ilmu-ilmu Fengsui Cina, dan tradisi kabalistik (tasawuf Yahudi) sudah mengembangkan ilmu ini, kemudian berlanjut dalam tradisi Islam.

Dalam lintasan sejarah sufisme, dikenal sejumlah nama yang mengamalkan dan mengembangkan tradisi ini, seperti Imam Ja’far Al-Shadiq (Imam Syiah keenam) dan Al-Khallaj.

Bahkan, di Persia pernah berkembang aliran hurufi yang dikembangkan oleh Fadhlullah Astarabadi, yang kemudian dihukum mati karena dianggap mengembangkan paham bid’ah lalu diteruskan oleh muridnya, Nesimi, yang juga dihukum mati pada 1417 M dengan alasan yang sama.

Salah satu contoh ajaran Hurufi ialah dunia merupakan perwujudan tertinggi Allah, wajah manusia tidak lain adalah jelmaan Alquran, dan Adam dianugerahi sembilan huruf, Ibrahim 14 huruf, Muhammad 28 huruf, Fadlullah si pendiri aliran ini mengaku mampu memahami 32 huruf, empat tambahannya dari abjad Arab versi Persia.

Contoh implementasi huruf dalam diri manusia ialah huruf alif membentuk garis khatulistiwa seperti halnya hidung. Mungkin karena ia seorang Syiah maka penafsiran huruf-huruf sangat dipengaruhi oleh ajaran Syiah yang memuji (untuk tidak disebut memuja Ali). Namun, kalangan sufi pengembang hurufi lain lebih netral aliran.

Beberapa ilustrasi huruf yang dihubungkan dengan manusia oleh kalangan mistikus, antara lain, alif (matahati), ba (hidung), ta (bahu kanan), tsa (bahu kiri), jim (kepala), ha (perut), kha (jantung), dal (telinga kanan), dzal (telinga kiri), ra (hati), dzai (rahasia/sirr), sin (siku kanan), syin (siku kiri), shad (paha kanan), dlad (paha kiri), tha (bagian belakang kanan), dha (bagian belakang kiri), ‘ain (hidup), ghuin (nyawa), fa (genggaman kanan), qaf (genggaman kiri), kaf (mulut), lam (isi perut), mim (nadi), nun (pusar), waw (tulang belakang), ha (lidah), la (kedua lutut), dan ya (kedua telapak kaki).

Banyak lagi pemaknaan lain dari huruf-huruf hijaiyah yang dihubungkan dengan organ tubuh manusia.

Di antaranya lagi ada yang menghubungkan mulut dengan huruf mim, mata dengan shad atau ‘ain (yang memang berarti mata), rambut dihubungkan dengan huruf dal atau jim, dan sebagainya.

Tentu saja kita berhak untuk tidak percaya dengan semuanya itu, tetapi bagi orang-orang yang meyakininya mungkin mereka memperoleh manfaat, walaupun hanya berupa sugesti dan motivasi untuk lebih kuat mencari dan menemukan Tuhannya. Allahua’lam.

Bagi penganut ajaran hurufi, mereka menggambarkan manusia sebagai tiruan sempurna Lauhul Mahfudz, tempat segala sesuatu tersimpul. Agak mirip dengan ahli kosmologi yang menganggap manusia sebagai mikrokosmos, karena manusia mirip sekali dan merupakan miniatur alam raya (makrokosmos).

Seorang penyair Indo-Persia, yang mungkin terpengaruh dengan aliran hurufi ini pernah membuat syair sebagai berikut:

“Wajahmu bagaikan tiruan Alquran, tanpa ralat dan kesalahan, yang telah digoreskan oleh pena nasib khusus dari tinta wewangian. Mata dan mulutmu adalah sajak-sajak yang titik untuk berhenti. Alis matamu adalah maddah (untuk memanjakan alif). Bulu matamu adalah pertanda tasrif, bintik dan huruf bawah dan titik-titik.” (Dikutip dari Syit Qani’ dalam Maqalat Al-Syu’ara’ oleh Schimmel).

Ibnu Arabi ketika memaknai Surah Al-Qalam: 1, terutama arti huruf nun yang diartikan malaikat atau tinta dawat menurut sufi lain, qalam diartikan dengan pena sebagai makhluk pertama, dan wa ma yasthurun dihubungkan dengan Lauhul Mahfudz.

Demikian pula, ketika ia memaknai titik di bawah huruf ba pada basmalah, yang dianggap sebagai tulisan pertama pena itu, yang dari titik ini pecah dan mengalami pengembangan (expanding universe) yang dihubungkan dengan Surah Adz-Dzaariyaat: 47, (“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya”).

Penjelasan-penjelasan tersebut kata Ibnu Arabi memerhatikan secara khusus makna-makna huruf lebih dari sekedar komponen teks. (Penjelasan lebih perinci tentang hal ini, lihat artikel terdahulu: “Rahasia Basmalah”).

Di kalangan para sufi, ada yang percaya bahwa huruf-huruf dan angka-angka bukan sekadar huruf biasa yang menjadi simbol bacaan, tetapi lebih dari itu. Huruf-huruf dan angka-angka juga memiliki makna kompleks dan komprehensif.

Sebuah hasil studi mendalam tentang makna metafisik di balik huruf dan angka ditulis oleh Franz Carl Endres dalam "Das Mysterium Der Zahl", lalu dikembangkan lebih dalam dan lebih luas oleh Annemarie Shcimmel di dalam "The Mystery of Num bers", yang merangkum misteri di balik huruf alfabet dan nomor pada sejumlah agama dan kepercayaan, seperti mistisisme Semit, pemikiran Pytagoras, Taoisme, Kabbalah (Mistisisme Ya hudi), Kristen, Hindu, Buddha, dan Islam.

Di dalam lintasan sejarah keilmuan sufi juga ditemukan studi mendalam di balik huruf alfabet dan angka-angka Arab. Salah seorang di antaranya ialah Haydar Amuli yang pernah menyatakan sebagaimana dikutip oleh Toshihiko Izutsu, "Huruf-huruf yang ditulis dengan tinta tidak hanya sekedar berwujud sebagai huruf, melainkan huruf-huruf tersebut tidak lain merupakan pelbagai bentuk yang dimaknai dengan kebiasaan tertentu.”

“Yang mewujud benar-benar ialah tinta (yang menuliskannya) itu. Keterwujudan huruf-huruf itu tidak lain adalah keberadaan tinta itu, yang juga merupakan kenyataan tersendiri dan unik yang mengungkapkan diri dalam berbagai bentuk yang berubah-ubah. Pertama kali kita harus melatih mata untuk melihat kenyataan kesamaan tinta pada semua huruf, kemudian melihat-huruf-huruf itu dalam begitu banyak untuk yang berubah-ubah dari tinta.”

Sebagai contoh huruf pertama dalam huruf hijaiyah, abjad Arab, ialah huruf alif. Huruf ini oleh kalangan mistikus sebagai huruf istimewa yang sarat dengan makna. Huruf alif ini menunjuk kepada Allah, Sosok yang menghu bungkan (allafa) segala sesuatu, namun Ia tetap terpisah dengan segala sesuatu itu.

Menurut Muhasibi, ketika Allah menciptakan huruf-huruf, Ia memerintahkan semua huruf untuk menurut, namun hanya huruf alif yang tidak menurut, tetap mempertahankan wujud pertamanya berdiri tegak.

Niffari menyebut semua huruf sakit kecuali huruf alif. Muhasibi mengomentari huruf alif ini dengan mengutip hadis Nabi, "Allah menciptakan Adam sesuai dengan gambar/citra-Nya ('ala shuratihi)". Huruf alif sebagai huruf Allah dan juga huruf pertamanya Adam, satu-satunya huruf yang bertahan dengan keutuhannya, selainnya semuanya kehilangan wujud aslinya.

Masih misteri huruf alif, menurut Attar, sebagaimana dikutip dari Annimarie Schimmel, ikut mengomentari kelebihan huruf ini dengan mengatakan, jika huruf alif dibengkokkan maka bisa lahir huruf dal, dzal, ra, zai.

Jika dilipat dua ujungnya bisa membentuk huruf ba, nun, ta, tsa. Bahkan, semua huruf lain juga bisa terbentuk dari huruf alif. Itulah sebabnya huruf alif dikatakan huruf ahadiyyah, huruf kesatuan dan kebersatuan, huruf tau hid, sekaligus sebagai huruf transendens.

Namun, ada juga yang mengomentari sebaliknya, huruf alif adalah huruf iblis, karena satu-satunya huruf yang tidak mau membungkuk, seperti syair Jalaluddin Rumi: "Jangan menjadi alif yang keras kepala, jangan menjadi huruf ba yang kepalanya dua, tetapi jadilah huruf jim.”

Dalam kitab ini diulas tentang berbagai makna mistik dari huruf alif. Di antaranya menjelaskan kata alif itu sendiri tersusun dari tiga huruf, yaitu alif, lam, dan fa, yang mengisyaratkan kesatuan dari tiga hal, yaitu pencinta, kekasih, dan cinta, atau merenung, bahan renungan, dan perenungan.

Syah Abd Al-Lathif menjelaskan, alif menunjukkan nama Allah dan mim menunjukkan nama Muhammad SAW. Ia melihat urgensi kedua huruf ini di dalam pembahasannya dengan mengutip hadis Qudsi, "Ana Ahmad bila mim" (Aku Ahmad tanpa huruf mim), berarti Ahad (Esa), yakni Allah Yang Maha Esa.
Huruf mim merupakan satu-satunya penghalang antara Allah dan Muhammad. Ini mengingatkan kita pada riwayat- riwayat Ahlul Bait (Syiah) yang banyak mengomentari hadis titik di bawah huruf ba pada kata basmalah (lihat kembali artikel terdahulu: "Misteri Basmalah").

Ibnu Arabi dan kalangan sufi Syiah menghubungkan huruf alif dengan kalam (pena) di dalam Surah Al-Qalam ayat 1: Nun wa al- Qalam wa ma yasthurun. (Nun, demi pena dan apa yang dituliskannya). Nun dihubungkan dengan botol tinta dawak, kalam dihubungkan dengan alif yang menulis, dan buku dihubungkan dengan Lauh Al-Mahfudz.
Tulisan alif mewujudkan kehendak Allah dalam bentuk alam dan kenyataan. Dalam hadis diistilahkan: "Tidak jatuh sehelai daun dari tangkainya melainkan sudah tertulis di dalam lauh al-mahfudz.”

Keistimewaan alif yang membentuk huruf lafdh al-jalalah, yang terdiri atas huruf lam lam ha, tidak ada sebuah kata yang digugurkan satu persatu hurufnya namun tetap menunjuk makna yang sama. Jika huruf alif di bagian awal dibuang maka tinggal huruf lam lam ha, masih bisa terbaca "lillah" berarti "untuk Allah".

Jika digugurkan lagi huruf lam pertamanya sehinggal tinggal dua huruf yaitu lam dan ha masih bisa terbaca "lahu" berarti "kepunyaan Allah". Jika digugurkan lam keduanya sehingga tinggal satu huruf yaitu huruf ha, masih bisa terbaca dan mempunyai arti sebagai kata ganti (dlamir) berarti "Dia", sebagai kata ganti untuk Allah. Dlamir atau kata hu sebagai singkatan kata huwa, sering dijadikan lafaz wirid oleh sejumlah tarekat de ngan cara meng ambil napas lalu membuang napas dengan membaca panjang: Huu… yakni Allah SWT.

Tak hanya IslamPembahasan makna simbolik huruf dan angka ternyata tidak hanya dikenal di kalangan teosofi Muslim, tetapi juga di dalam agama-agama lain.

Makna alfabet Cina dan Jepang lebih kental lagi dengan nuansa mistisnya, karena huruf-hurufnya disusun berdasarkan perenungan simbolik dari pertarungan kearifan dan kezaliman atau antara kebaikan dan keburukan.

Kebaikan dilambangkan dengan huruf-huruf lurus, baik secara vertikal maupun horizontal. Sedangkan keburukan disimbol kan dengan huruf-huruf yang bengkok atau berliku.

Dalam tradisi mistisisme Cina (Feng Sui) makna metafisik di balik setiap wujud dimaknai sedemikian rupa, termasuk simbol huruf dan bilangan. Ini mengingatkan kita pada hermeneutisme Syiah bahwa ungkapan benda-benda (ism 'alam) dalam Alquran semuanya mutasyabihat, yang mengisyaratkan makna lahir (eksoterik) dan makna batin (esoterik).

Di dalam tradisi Kabbalah juga sangat kental dengan pemaknaan simbol-simbol huruf. Huruf-huruf alfabet Hebrew berjumlah 27 buah yang terdiri atas 22 harus ditambah lima akhiran.

Huruf-huruf tersebut ialah: alef, beth, gimel, daleth, he, vau, zayin, cheth, teth, yod, aph, lamed, mem, nun, samekh, ayin, pe, tzaddi, qoph, resh, shin, tav, akhiran caph, akhiran mem, akhiran, nun, akhiran pe, dan akhiran tzaddi. Kalangan Kabbalis memaknai secara metafisik (baca: mistik) huruf-huruf tersebut. Setiap huruf-huruf tersebut dihubungkan dengan fenomena alam dan fenomena batin.

Sebagai contoh huruf pertamanya, aleph (dibaca 'alif', sama dengan alfabet Arab) dimaknai sebagai prinsip ganda (dual principle) yang merepresentasikan keseluruhan wujud dan keseluruhan yang tidak berwujud.

Di dalam Kabbalah dikenal puncak segala rahasia (the secred of the secred) yaitu Ain Sof, yaitu sisi yang paling rahasia dari Tuhan, yang dalam Islam dapat disepadankan dengan Ahadiyyah, yaitu sir al-asrar. Pembahasan alef di dalam Kabbalah sama rumitnya pembahasan alif di dalam mistisisme tasawuf. (Lihat artikel terdahulu tentang: "Antara Ahadiyyah, Ain Sof, dan Atma").

Di dalam Alquran ternyata banyak angka dan huruf hijaiyah yang masih misteri, khususnya yang mengambil bentuk pembuka surah (fawatih al-shuwar). Di dalam kitab-kitab tafsir jarang sekali diungkapkan makna dan kandungan esoteriknya, terutama dalam literatur yang berbahasa Indonesia.





Sunday, July 8, 2012

Islam dan Demokrasi

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, gelombang demokrasi telah meluas ke berbagai negara, tak terkecuali negara-negara berpenduduk Muslim.

Wacana demokrasi dan Islam yang kerap diwarnai pro dan kontra selalu menarik untuk diperbincangkan.

''Hubungan antara Islam dan demokrasi dalam dunia saat ini begitu kompleks,'' ungkap John L Esposito dan John O Voll dalam tulisan mereka berjudul Islam and Democracy. Lalu bisakah demokrasi dan Islam bisa cocok (compatible) dan berdampingan?

Konon, demokrasi berakar dari peradaban bangsa Yunani Kuno pada 500 SM. Dari negeri itulah, asal kata democratia, yang demos berarti rakyat dan cratia berarti pemerintahan. Chleisthenes—tokoh pada masa itu—dianggap banyak memberi kontirbusi dalam pengembangan demokrasi.

Chleisthenes adalah tokoh pembaharu Athena yang menggagas sebuah sistem pemerintahan kota. Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athena ke dalam 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa demos yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil.

Sejatinya, jauh sebelum bangsa Yunani mengenal demokrasi. Para ilmuwan meyakini, bangsa Sumeria yang tinggal di Mesopotamia juga telah mempraktikkan bentuk-bentuk demokrasi.

Konon, masyarakat India Kuno pun telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan mereka, jauh sebelum Yunani dan Romawi. ''Demokrasi muncul dari pemikiran manusia,'' ungkap Aristoteles seorang pemikir termasyhur dari Yunani.

Gagasan demokrasi yang berkembang di Yunani sempat hilang di barat, saat Romawi Barat takluk ke tangan suku Jerman. Pada abad pertengahan, Eropa Barat menganut sistem feodal. Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus dan pejabat agama Lawuja.

Magna Charta yang lahir pada 1215 dianggap sebagai jalan pembuka munculnya kembali demokrasi di Barat. Pada masa itu, muncullah pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi seperti, John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755).


Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika Eropa bangkit di abad pencerahan. Pada masa itulah lahir pemikiran-pemikiran besar tentang relasi antara penguasa dengan rakyat, atau negara dan masyarakat.

Secara sederhana, Ulf Sundhaussen, dalam karyanya bertajuk Demokrasi dan Kelas Menengah, menyebutkan beberapa kriteria demokrasi.

Pertama, adanya jaminan hak bagi setiap warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang diadakan secara berkala dan bebas. Kedua, setiap warga negara menikmati kebebasan berbicara, berorganisasi, mendapatkan informasi, serta beragama. Ketiga, dijaminnya kesamaan hak di depan umum.

Sementara itu, Joseph Schumpter dalam Capitalism, Socialism and Democracy, menyatakan demokrasi sebagai mekanisme pasar. Para pemilih bertindak sebagai konsumen dan para politisi adalah wiraswastanya. Ide demokrasi terus mengalir hingga ke Timur Tengah pada pertengahan abad ke-19.

Gagasan demokrasi itu dibawa ke negara-negara berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam yang mempelajari budaya Barat. Para pemikir inilah yang kemudian menekankan pentingnya umat Islam untuk mengadopsi hukum-hukum Barat dengan cara selektif.
Salah satu pemikir Islam yang menekankan hal itu adalah Muhammad Abduh (1848-1905), seorang pembaru pemikiran Islam di Mesir.
Melalui Al-Manar, Abduh menekankan pentingnya penguatan moral akar rumput masyarakat Islam dengan kembali ke masa lalu, namun mengakui dan menerima kebutuhan untuk berubah, serta menghubungkan perubahan itu dengan ajaran Islam. Abduh meyakini Islam dapat mengadopsi untuk berubah sekaligus mengendalikan perubahan itu.

''Islam dapat menjadi basis moral sebuah masyarakat yang progresif dan modern,'' kata Abduh. Seabad kemudian, banyak negara Muslim di dunia yang memilih demokrasi untuk diterapkan dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World membagi pandangan umat Islam terhadap demokrasi ke dalam dua kelompok, yakni liberal dan konservatif.

Para pendukung Islam liberal dipengaruhi Muhammad Abduh. Kelompok ini menyatakan bahwa agama Islam tak bertentangan dengan perspektif sekuler.

Menurut kelompok ini, Islam mendorong umatnya untuk mendirikan pemerintahan yang berbasis pada pemikiran modern. Tiga konsep yang menjadi perhatian penganut kelompok Islam liberal adalah syura (musyawarah), al-maslahah (kepentingan umum), dan ‘adl (keadilan).

Kelompok ini memandang tidak ada kesepakatan di antara ilmuwan Islam mengenai syura. Meski begitu, pada dasarnya mereka sepakat pada ayat Alquran yang memerintahkan Nabi untuk berkonsultasi dengan penasehatnya.

Penganut paham liberal juga meyakini Muslim yang baik perlu bermusyawarah dengan orang lain untuk membangun hubungan. Bagi mereka, demokrasi tak bertentangan dengan Islam.

Sementara itu, kelompok konservatif menyatakan kedaulatan bukan berada di tangan manusia, tetapi di tangan Tuhan. Pandangan kelompok konservatif banyak dipengaruhi pemikiran ulama asal Mesir, Sayyid Qutb (1906-1966). Ia menyatakan, sistem negara-negara Arab yang tak Islami sebagai bagian dari jahiliyah modern.

Menurut Sayyid Qutb, banyak aspek yang berlaku dalam kehidupan modern, termsuk institusi dan kepercayaan barat sebagai kejahatan dan bertentangan dengan Islam. Dia meyakini universalitas dan kesempurnaan Islam sangat cocok bagi setiap orang tanpa memandang tempat dan waktu. Syariah menjadi sumber aturan kehidupan.

Pemikir Islam lainnya, Hasan Al-Turabi, menyatakan sistem sosial dan politik perlu didasarkan pada tauhid. Menurut dia, syura dan tauhid bergandengan tangan. ''Syura dibutuhkan untuk menerjemahkan syariah dalam berhubungan dengan konstitusi, hukum, sosial dan masalah-masalah ekonomi,'' papar Al-Turabi.

Bagi kelompok konservatif, syura sangat berbeda dengan gaya demokrasi Barat. Begitulah umat Islam memandang demokrasi.
Syura, model demokrasi IslamSelepas wafatnya Rasulullah SAW pada 12 Rabiul Awal 11 H, para sahabat memutuskan untuk mencari tokoh yang dapat memimpin umat Islam.

Sebelum Rasulullah wafat, beliau tidak menunjuk pengganti atau mewariskan kepemimpinannya kepada seseorang. Suksesi kepemimpinan pada waktu itu dilakukan para sahabat dengan musyawarah (syura) dan pemilihan.

Masyarakat Islam dengan sukarela dan tanpa paksaan mengakui dan menyetujui empat sahabat Rasulullah, secara berurutan, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, menjadi Khulafa' Ar-Rasyidin (para pengganti yang memberi bimbingan). Pemilihan dan musyawarah dilakukan sesuai dengan kondisi saat itu.

Sejak saat itulah, kemudian muncul istilah syura dalam kehidupan politik, sosial, dan kemasyarakatan umat Islam. Syura berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi.

Dalam Surah Ali Imran ayat 159 Allah SWT berfirman, ''Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila telah berbulat tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang betawakal kepada-Nya.''

Dengan ayat itu, Islam menjadikan syura sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijakan politik.

Setiap orang yang bermusyawarah tentu akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga masalah atau persoalan yang dihadapi bisa diselesaikan. Jika para pemimpin masyarakat, politik dan pemerintahan mengikutsertakan rakyat untuk memusyawarahkan suatu urusan, maka rakyat akan memahaminya dan ikut berpartisipasi dalam melaksanakannya.

Dengan begitu rakyat terhindar dari kesewenang-wenangan. Melalui ayat itu pula, Allah melarang para pemimpin umat memutuskan suatu urusan dengan sewenang-wenang tanpa memerhatikan aspirasi umat.

Al-Qurtubi, seorang mufasir, menyatakan, musyawarah adalah salah satu kaidah syara dalam ketentuan hukum yang harus ditegakkan. “Maka barangsiapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) maka harus dipecat,'' tegasnya.

Bentuk pelaksanaan syura memang tak ada yang menjelaskannya. Nabi Muhammad SAW yang gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya tak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Sehingga bentuk pelaksanaan syura bisa disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.

Saturday, July 7, 2012

Membuka Pintu Rezeki

Allah SWT telah menyiapkan segala kebutuhan manusia; bahkan semua kebutuhan makhluk-Nya. Tidak ada satu pun makhluk kecuali telah Allah siapkan dan Allah sediakan apa yang menjadi keperluan dan kebutuhan hidupnya. Yang diperlukan adalah upaya dan usaha untuk menjemput rezeki tersebut dengan cara yang Dia gariskan.  Dalam hal ini Allah telah menggariskan sejumlah pintu bagi manusia untuk memperoleh rezeki yang halal dan berkah.

Seorang Muslim tidak boleh berdiam diri, berpangku tangan, dan ongkang-ongkang kaki. Tidak boleh dengan alasan ingin fokus beribadah ia malas bekerja dan mencari nafkah untuk keluarganya. Tidak boleh pula dengan alasan tawakal ia hanya berdiam diri menunggu datangnya rezeki.

Allah menjamin rezeki makhluk; apalagi rezeki manusia. Hanya saja, Allah juga telah mewajibkan manusia untuk bekerja dan berupaya memburunya. Meminta-minta dan mengemis kepada orang, sementara diri masih kuat dan mampu bekerja adalah aib yang sangat dicela dalam agama. Sebaliknya, siapa yang mau bekerja dan mempergunakan potensi yang Allah berikan padanya, ia akan mendapat apresiasi di sisi-Nya.

“Siapa yang mencari nafkah halal guna menjaga dirinya dari meminta-minta, guna memenuhi kebutuhan keluarga, serta guna berbagi dengan tetangga, maka ia datang pada hari kiamat dengan wajah laksana bulan di malam purnama.” (HR Thabrani).

Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan kepada siapa pun yang ingin menunjukkan tawakalnya kepada Allah dengan melihat pada burung yang terbang berusaha untuk mendapatkan rezeki-Nya. “Andaikan kalian bertawakal kepada Allah secara benar, tentu Dia akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Burung pergi (terbang) di waktu pagi dalam kondisi perut kosong dan kembali dengan perut yang kenyang.” (HR Tirmidzi).

Beriman dan bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. “Andaikan penduduk negeri beriman dan bertakwa, tentu Kami bukakan untuk mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi.” (QS al-A’raf: 96). Allah juga befirman dalam QS ath-Thalaq: 3.

Selanjutnya beristighfar. Cara yang mudah, namun membutuhkan keyakinan dan keimanan yang kuat adalah beristighfar dan meminta ampunan-Nya. “Maka, aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dia akan membanyakkan harta dan anak-anakmu. Serta Dia akan menghadirkan untukmu kebun-kebun dan sungai-sungai.” (QS Nuh: 10-12).

Kemudian, memperbanyak sedekah. Bersedekah tidak akan mengurangi harta, sebaliknya ia akan bertambah. Karena, yang demikian itu akan menjaga dan memancing turunnya rezeki Allah. “Tidak berkurang harta karena sedekah.” (HR Tirmidzi).

Berikutnya adalah bersilaturahim. “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan (diberkahi) usianya, hendaknya menyambung tali silaturahim.” (HR Muslim). Dan yang terakhir adalah memperbanyak doa kepada Allah. Doa adalah senjata orang beriman. Manusia adalah makhluk yang terbatas dan Allah yang memiliki kekuasaan Mahaluas. Dengan berdoa maka itu menunjukkan kelemahan kita untuk meminta pertolongan kepada Allah.

Thursday, July 5, 2012

Melayat Jenazah Non Muslim Bolehkah ?

Indonesia merupakan negara yang sangat majemuk. Mulai dari adat istiadat, bahasa, suku bangsa, hingga agama. Walaupun ber beda-beda dalam banyak hal, bangsa ini senantiasa diselimuti dengan keharmonisan.
Berbagai problematika sosial, seperti pertikaian antarsuku, laksana riak-riak kecil buih di lautan. Keharmonisan dalam keragaman itu membuat bangsa ini selalu menjadi daya tarik negara lain untuk mempelajari kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia.

Dengan keragaman sosial, budaya, dan agama itu maka umat Islam diharuskan untuk menjaga perbedaan dalam suasana yang damai dan harmonis. Hubungan dengan tetangga atau sanak-saudara yang berbeda ke yakinan, hendaknya tidak memenga ruhi silaturahim antarkeduanya.

Pertanyaannya, sebagai umat Islam, ketika ada tetangga meninggal dunia yang berbeda keyakinan (aga ma—Red), bolehkah kita melayatnya? Berbagai pro dan kontra muncul dalam menyikapi masalah ini. Ada yang membolehkan, namun banyak pula yang mengabaikannya, dalam arti melarang melayat jenazah non-Muslim.

Dalam masalah ini, Syekh Muhammad Kamil Uwaidah dalam kitabnya Al- Jami’ fi Fiqh al-Nisaa’ menjelaskan, hukum melayat (bertakziyah) untuk jenazah non-Muslim dibolehkan. Demi kian pula kalau orang non-Muslim itu sakit, kita dianjurkan untuk menje nguknya.

Anas bin Malik RA meriwayatkan, “Ada anak seorang Yahudi yang meng abdi kepada Nabi SAW. Suatu hari, dia jatuh sakit dan kemudian Rasul menje nguknya.” Hal yang sama juga dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika pamannya, Abu Thalib, meninggal du nia. Pendapat senada tentang kebo lehan umat Islam untuk mengunjungi saudara non-Muslim yang sedang sakit, telah diputuskan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah. Dalam buku Tanya Jawab Agama (1), dijelaskan, tidak ada larangan bagi umat Islam untuk melayat jenazah orang non- Muslim. Yang ada larangannya ialah menyalatkan dan mendoakannya.

Larangan menyalatkan jenazah non-Muslim ini termuat dalam Surah At-Taubah ayat 84. Sedangkan, dibolehkannya untuk melayat ke kubur dan bukan mendoakannya disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan An- Nasa’i.

“Dari Sahabat Ali ra, ia berkata, ‘Aku mengatakan kepada Nabi bahwa pamannya (Abu Thalib) yang sudah tua dan sesat itu meninggal dunia.’ Rasul kemudian bersabda, ‘Pergilah engkau menguburkan bapakmu dan jangan berbuat apa-apa (yang sifat ibadahnya), sampai engkau datang kepadaku lagi.’ Maka, Ali berkata, ‘Aku pun pergi menguburkannya dan kemudian datang menjumpai Rasul SAW yang menyuruh aku mandi dan aku didoakannya.’”

Dalam salah satu riwayat disebutkan, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berdiri untuk menghormati jenazah non-Muslim yang diantar me nuju ke pemakaman. Ketika sahabat memberitahukan bahwa jenazah itu adalah orang Yahudi, Rasul mengata kan bahwa beliau berdiri bukan untuk menghormati agama dari si mayit, melainkan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Wallahu a’lam.

Wednesday, July 4, 2012

Masjid Besar Al-Mahmudiyah Palembang, Klasik dan Tradisional

Bila pergi ke Palembang, Sumatera Selatan, dengan tujuan berwisata atau lainnya, mampirlah ke Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II.

Di kelurahan tersebut, terdapat sebuah masjid yang berusia lebih dari satu abad, dan hingga kini masih kokoh berdiri, dengan bentuknya yang masih serupa dengan awal pembangunannya.

Namanya Masjid Besar Al-Mahmudiyah. Dan kalaupun ada yang berubah dari masjid tersebut, itu hanya sebagian saja seperti menaranya, keramik, dan dinding masjid yang dilapisi dengan bahan-bahan yang terbaik.

Sebelum bernama Masjid Besar Al-Mahmudiyah, dulunya masjid ini bernama Masjid Suro. Nama ini disematkan sesuai dengan nama jalan tempat masjid tersebut didirikan, yaitu Jalan Ki Ranggo Wiro Sentiko Simpang Suro.

Dari Kota Palembang, lokasi masjid ini berjarak sekitar satu kilometer. Nama ini dulunya diberikan oleh KH Abdurrahman Delamat bin Syarifuddin, bersama dengan sahabatnya Kiai Ki Agus H Mahmud Usman (Kiai Khotib). Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan kepengurusan masjid, akhirnya pada 2001, masjid ini diberi nama Masjid Besar Al-Mahmudiyah.

Masjid Suro ini didirikan oleh KH Abdurrahman Delamat pada 1889, dan selesai pada 1891 Masehi. Sebagaimana fungsi masjid pada umumnya, masjid ini juga didirikan dengan tujuan untuk memudahkan masyarakat melaksanakan ibadah kepada Allah.

Disamping itu, karena keterbatasan lembaga pendidikan, maka masjid juga dipergunakan untuk menimba ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama oleh masyarakat setempat kepada Kiai Delamat.

Besarnya minat masyarakat untuk menimba ilmu agama, membuat penjajah Belanda merasa khawatir kegiatan keagamaan tersebut akan berkembang menjadi sebuah upaya menentang dan memberontak melawan Belanda.

Karena itu, pemerintah Hindia Belanda tidak menghendaki hal tersebut terjadi. Kepala Residen Belanda waktu itu, meminta agar kegiatan tersebut dihentikan. Namun, Kiai Delamat tetap melaksanakan tugasnya menyampaikan dakwah Islam pada masyarakat setempat.

Akhirnya, Kiai Delamat dipanggil oleh Kepala Residen dan diperingatkan untuk tidak lagi menyebarkan Islam. Bersama itulah keluar larangan menyelenggarakan shalat Jumat di masjid tersebut. Dan Kiai Delamat diperintahkan untuk meninggalkan Kota Palembang karena dianggap membahayakan Pemerintah Hindia Belanda.
Kuatnya desakan Pemerintah Hindia Belanda, dengan terpaksa Kiai Delamat harus meninggalkan masjid ini dan berpindah ke lain tempat.

Kiai Delamat akhirnya menetap di Dusun Sarika hingga wafatnya dan dimakamkan di Masjid Babat Toman, Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan.

Namun, oleh anaknya, KH Abdul Kodir dan KH Muhammad Yusuf, jenazah Kiai Delamat dipindahkan kembali ke Palembang dan dimakamkan di belakang mimbar khatib.

Tetapi, karena tidak disetujui oleh pemerintah kolonial, akhirnya jenazahnya dipindahkan kembali ke Pemakaman Jambangan di belakang Madrasah Nurul Falah, Kelurahan 30 Ilir, Palembang.

Menurut keterangan, Kiai Delamat lahir di daerah Babat Toman. Setelah dewasa ia pindah ke Palembang dan berdomisili di daerah Lawang Kidul, tepatnya di Masjid Lawang Kidul. Ketika masih remaja, Kiai Delamat pernah mengajar di Makkah, Madinah, dan Baitul Maqdis, bersama Kiai Muara Ogan.

Semasa hidupnya, Kiai Delamat tidak mempunyai satu rumah pun kecuali masjid-masjid yang dibangunnya. Antara lain Masjid Pulau Panggung, Masjid Fajar Bulan, Masjid Babat Toman, dan Masjid Pulau Sambi. Sedangkan, di Kota Palembang ia membangun Masjid Suro (Al-Mahmudiyah-Red) dan Masjid Rohmaniyah yang terletak di Kelurahan 35 Ilir, Palembang.

Dibongkar Belanda

Sepeninggal Kiai Delamat, kegiatan di masjid ini menjadi berkurang. Dan lama kelamaan akhirnya masjid ini dibongkar Belanda. Pemerintah kolonial ini juga melarang diselenggarakannya ibadah di tempat tersebut, selama lebih kurang 36 tahun. Namun, setelah kepengurusan diserahkan kepada Kiai Khotib, bangunan masjid ini kembali difungsikan.

Setelah Kiai Khotib meninggal dunia maka sekitar tahun 1343 H/1919 M diadakan pertemuan antara pemuka agama dan masyarakat di Kelurahan 30 Ilir untuk membentuk kepengurusan masjid yang baru, atas prakarsa Kiai Kiemas H Syeikh Zahri. Maka, terpilihlah kepengurusan baru yang diketuai oleh HM Ali Mahmud.

Di masa kepengurusannya, pada 1920 masjid ini mulai dibongkar untuk diperbaiki. Satu hal yang dipertahankan adalah tiang penyangga masjid yang terbuat dari kayu bulat tinggi dan lebar. Dalam buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia disebutkan, kendati sudah berusia satu abad lebih, namun tiang penyangga masjid ini sampai hari ini masih tetap berdiri kokoh.

Selanjutnya, pada 1925 pengurus Masjid Suro membangun menara masjid. Dan sejak saat itu masyarakat diperbolehkan kembali shalat Jumat oleh pemerintah kolonial yang berkuasa saat itu. Kemudian pada 1928 M, dilakukan penyempurnaan pada bangunan tambahan berupa sumur untuk berwudhu.


Tak seperti masjid-masjid masa kini yang dibangun semegah dan semewah mungkin, Masjid Suro yang kini bernama Al-Mahmudiyah itu, masih tetap tampak klasik dan tradisional dengan atap layaknya bangunan rumah-rumah penduduk.

Begitu juga dengan bangunan menaranya yang tampak kokoh berbentuk lancip pada ujungnya. Bentuk menara yang demikian itu, menambah kesan klasik masjid ini.

Bahkan, bila masjid-masjid lainnya menggunakan kubah berbentuk bundar dan pipih, kubah Masjid Besar Al-Mahmudiyah ini justru hanya berbentuk tajuk limas dengan mustaka dan kubah dari aluminium. Simbol ini menandakan arsitektur masjid ini terpengaruh oleh masjid-masjid di Jawa, seperti Masjid Agung Demak.

Dari luar, masjid ini tampak biasa-biasa saja. Bahkan, menurut warga setempat, masjid ini seperti kurang terawat.
Namun demikian, pada bagian dalam, masjid ini tampak begitu indah, kendati dinding-dindingnya masih berupa beton semen. Luas bangunan masjid yang berukuran 40 X 30 meter persegi ini, mampu menampung jamaah hingga sekitar 1.000 orang.
Peninggalan sejarahDengan usianya yang terbilang sudah lebih dari satu abad, Masjid Besar Al-Mahmudiyah kini menyimpan berbagai benda peninggalan sejarah. Di antaranya beduk, sokoguru (tiang) untuk penyangga masjid, kolam tempat berwudhu, serta mimbar tempat makam Kiai Delamat.

Keberadaan kolam tempat berwudhu di Masjid Al-Mahmudiyah ini juga menyimpan cerita unik. Menurut cerita yang berkembang luas di masyarakat, air kolam tempat berwudhu ini berasal dari empat mata air yang mengalir terus.

Meski bagian dasar kolam tersebut sudah dirombak dari sebelumnya masih berupa tanah menjadi sebuah kolam permanen dengan bagian dasar menggunakan keramik, namun masih terdapat rembesan dari keempat mata air tersebut.

Cerita lain yang berkembang seputar keberadaan kolam tersebut adalah air yang berasal dari kolam ini dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Karenanya, banyak di antara pengunjung yang singgah di sana tidak lupa membawa pulang air dari kolam ini untk dijadikan obat. Wallahua'lam.

Markas Pejuang, Membina UmatPada masa perang kemerdekaan, para pejuang Indonesia kerap menjadikan masjid sebagai markas perjuangan rakyat melawan penjajah. Demikian pula halnya dengan Masjid Besar Al-Mahmudiyah Palembang ini.

Masjid ini seringkali dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para pemuda dan pejuang-pejuang yang tergabung dalam BPRI (Badan Pelopor Republik Indonesia). Dan kini, setelah masa kemerdekaan, masjid dijadikan sarana pembinaan umat.

Masjid yang turut menjadi saksi perjuangan masyarakat Palembang dalam melawan penjajah ini, kini dimanfaatkan para remaja masjid untuk meningkatkan keimanan dan pembinaan akhlak generasi muda.

Para remaja masjid yang tergabung dalam Ikatan Remaja Masjid (IRMA) Al-Mahmudiyah, menjadikannya sebagai markas 'perjuangan' dalam membina umat. IRMA Al-Mahmudiyah yang terbentuk sejak 1990 ini, telah beberapa kali melakukan pergantian kepengurusan.

Sejak dibentuk hingga saat ini IRMA telah banyak menghasilkan prestasi dalam bidang keagamaan, seperti juara II lomba cerdas cermat (1991), juara III lomba kaligrafi (1992), juara II MTQ, dan juara I lomba pidato Islam (1995). Beberapa kegiatan lain yang dilaksanakan secara rutin adalah pengajian Alquran dan barzanji dari rumah ke rumah.

IRMA juga telah membentuk lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Alquran (TPA). TK dan TPA tersebut kini memiliki lebih dari 100 orang santri/murid.

Meski usianya sudah terbilang tua, namun Masjid Al-Mahmudiyah tidak pernah lelah dalam membina umat. Ini terlihat dari jumlah jamaah shalat lima waktu yang tidak pernah sepi. Disamping itu, pada setiap malam Senin dan Sabtu diadakan pengajian dan ceramah agama oleh ulama terkemuka Kota Palembang.

Tuesday, July 3, 2012

Masjid Istiqlal, Gaya Arsitektur Islam Modern

Hampir seluruh umat Islam di Indonesia mengenal Masjid Istiqlal, Jakarta. Masjid kemerdekaan ini merupakan salah satu masjid kebanggaan umat Islam di Indonesia.

Tidak saja karena namanya yang mengingatkan pada peristiwa kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi masjid ini juga merupakan yang terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Sejumlah tokoh mancanegara pernah mengunjungi masjid ini, seperti Pangeran Charles, mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton, mantan Presiden Libya Muammar Qadafi, hingga Presiden Amerika Serikat saat ini, Barack Obama.

Keberadaan masjid ini memang telah lama menjadi pusat perhatian warga Indonesia ataupun wisatawan mancanegara. Kemegahan serta kapasitas masjid yang dapat menampung ribuan jamaah membuat masjid ini memiliki daya tarik tersendiri.

Terletak di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, bangunan Masjid Istiqlal berdiri di atas tanah seluas hampir empat hektare (ha). Bangunan Masjid Istiqlal yang termasuk salah satu bangunan bersejarah ini dibangun pada masa pemerintahan presiden pertama RI, Ir Soekarno. Gagasan awal agar dibangunnya Masjid Istiqlal datang dari sejumlah tokoh agama.

Pada tahun 1953, sejumlah ulama mencetuskan ide untuk mendirikan masjid megah yang akan menjadi kebanggaan warga Jakarta sebagai ibukota negara dan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, masjid tersebut juga merupakan perwujudan rasa syukur atas kemerdekaan yang telah diraih bangsa Indonesia dari tangan penjajah.

KH Wahid Hasyim, selaku Menteri Agama RI ketika itu, melontarkan ide pembangunan masjid itu bersama-sama dengan H Agus Salim, H Anwar Tjokroaminoto, dan Ir Sofwan. Para tokoh Islam ini kemudian mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh sekitar 300 ulama di bawah pimpinan KH Taufiqurrahman.

Ide itu kemudian diwujudkan dengan membentuk Yayasan Masjid Istiqlal pada 7 Desember 1954 dan mengangkat H Anwar Tjokroaminoto sebagai ketuanya. Nama Istiqlal diambil dari bahasa Arab yang berarti merdeka sebagai simbol dari rasa syukur bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diberikan oleh Allah SWT.

Masjid Istiqlal mulai didirikan pada 1961. Peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan masjid dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 24 Agustus 1961. Setelah memakan waktu pembangunan sekitar 17 tahun, pada 1978 berdirilah bangunan masjid dengan luas hampir mencapai empat hektare. Bangunan masjid ini terdiri atas gedung utama, gedung serbaguna, teras raksasa, menara, dan ruang wudhu yang berada di lantai dasar.

Gaya Islam modern

Masjid Istiqlal ini bergaya arsitektur Islam modern. Di balik gagahnya bangunan Masjid Istiqlal ini, tersirat berbagai simbol ajaran Islam. Masjid Istiqlal menerapkan prinsip desain minimalis dan secara umum terdiri atas bangunan utama, bangunan pendahulu dengan teras pendamping, teras raksasa terbuka, teras keliling, dan bangunan menara. Konstruksi bangunannya berlantai lima dan didominasi batu marmer dan besi antikarat mulai dari lantai, dinding, hingga kubahnya.

Sementara itu, halaman Masjid Istiqlal seluas 9,5 hektar dengan tujuh buah pintu gerbang masuk. Di halaman masjid, terdapat jembatan dan air mancur yang berada di tengah-tengah kolam.

Halaman masjid dikelilingi pepohonan yang rindang agar suasana masjid terasa sejuk sehingga akan menambah kekhusyukan jamaah beribadah di masjid ini.

Bangunan menara setinggi 66,66 meter dengan diameter lima meter dan berfungsi sebagai tempat muazin mengumandangkan azan sebagai tanda tiba waktu shalat. Konon, ketinggian menara ini sebagai simbol dari jumlah ayat yang terdapat dalam Alquran yang menurut sebagian riwayat sebanyak 6.666 ayat.

Adapun bangunan utama masjid yang merupakan area shalat utama berukuran 75 m x 75 m dengan ketinggian langit-langit sekitar 19 meter. Bangunan ini memiliki kubah berdiameter 45 meter yang terbuat dari kerangka baja stainless steel dengan ketinggian 47 meter.
Bagian luar kubah dilapisi keramik dan bagian dalam langit-langitnya dilapisi stainless steel. Bagian atas kubah dipasang penangkal petir berbentuk lambang bulan dan bintang. Diameter 45 meter merupakan simbol penghormatan dan rasa syukur atas kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.

Bagian dalam, di bawah sekeliling kubah, terdapat kaligrafi Surah Al-Fatihah, Surah Thaha ayat 14, Ayat Kursi, dan Surah Al-Ikhlas. Bagian dalam kubah ditopang oleh 12 pilar berdiameter dari beton dan dilapisi dengan stainless steel dengan tinggi 12 meter. Angka ini merupakan simbol angka tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW, yaitu 12 Rabiul Awal.

Tempat wudhu terdapat di beberapa lokasi di lantai dasar yang dilengkapi dengan keran khusus sebanyak 660 buah. Sehingga, secara bersamaan, 660 orang dapat berwudhu sekaligus. Masjid Istiqlal ini dapat menampung sekitar 135.000 jamaah yang melakukan ibadah secara serentak bersama-sama dalam masjid ini.

Gedung induk yang terdiri atas lantai utama yang berfungsi untuk ruang shalat memiliki kapasitas 16.000 orang. Di samping kiri, kanan, serta belakang, terdapat lantai bertingkat lima yang dapat menampung jamaah sebanyak 61.000 orang.

Di belakang gedung induk, terdapat gedung pendahuluan yang berfungsi sebagai penghubung ke lantai atas dan dapat berfungsi untuk shalat bagi 8.000 jamaah. Selain dua gedung ini, Masjid Istiqlal juga mempunyai teras ukuran raksasa berukuran 19.800 meter persegi yang dapat menampung sekitar 50.000 jamaah.

Di lantai dasar, juga terdapat ruangan kaca luas yang pernah digunakan untuk Festival Istiqlal pertama dan kedua pada 1991 dan 1995. Selain itu, terdapat puluhan ruangan yang terdiri atas dua aula dan beberapa perkantoran. Aula ini berfungsi sebagai tempat diskusi ilmiah dan pertemuan. Hingga saat ini, bentuk bangunan masjid tidak berubah sejak dibangun pertama kali.

Selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam, masjid ini juga digunakan untuk aktivitas sosial dan kegiatan umum. Masjid ini juga menjadi salah satu daya tarik wisata yang terkenal di Jakarta. Kebanyakan wisatawan yang berkunjung umumnya wisatawan domestik dan sebagian wisatawan asing.

Simbol kerukunan umat beragamaUsulan sejumlah tokoh Islam untuk mendirikan sebuah masjid sebagai kebanggaan umat Islam di Indonesia atas kemerdekaan yang telah diraih disambut positif oleh Presiden Soekarno.

Bung Karno pun menyambut baik ide tersebut dan mendukung berdirinya Yayasan Masjid Istiqlal yang kemudian membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal (PPMI).

Rencana pembangunan Masjid Istiqlal sempat tertunda karena persoalan penentuan lokasi masjid yang menimbulkan perdebatan antara Bung Karno dan Bung Hatta yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI.

Bung Karno mengusulkan lokasi di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada 1834 yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral, dan Jalan Veteran.

Pada sekitar tahun 1950 hingga akhir tahun 1960-an, Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng dikenal sepi, gelap, kotor, dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederick Hendrik di taman dipenuhi lumut dan rumput ilalang di mana-mana.

Sementara itu, Bung Hatta mengusulkan lokasi pembangunan masjid terletak di tengah-tengah umatnya, yaitu di Jalan Thamrin, yang pada saat itu di sekitarnya banyak dikelilingi kampung. Selain itu, ia juga menganggap pembongkaran benteng Belanda tersebut akan memakan dana yang tidak sedikit.

Akhirnya, Presiden Soekarno memutuskan membangun masjid di lahan bekas benteng Belanda karena di seberangnya telah berdiri Gereja Kathedral dengan tujuan untuk memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.

Kemudian, pada tahun 1955, PPMI mengadakan sayembara rancangan gambar atau arsitektur Masjid Istiqlal yang dewan jurinya diketuai langsung oleh Presiden Soekarno dan beranggotakan Prof Ir Rooseno, Ir H Djuanda, Prof Ir Suwardi, Ir R Bratakusumah, RD Soeratmoko, Hamka, H Abu Bakar Atjeh, dan Oemar Husein Amin. Sayembara tersebut menawarkan hadiah berupa uang sebesar Rp 75.000 serta emas murni seberat 75 gram.

Sebanyak 27 peserta mengikuti sayembara tersebut, namun hanya lima peserta yang memenuhi syarat kala itu. Kelima peserta ini adalah Frederich Silaban dengan rancangannya bertema ''Ketuhanan", R Oetoyo dengan tema "Istighfar", Hans Groenewegen dengan tema "Salam", mahasiswa ITB (lima orang) dengan tema "Ilham 5", dan mahasiswa ITB (tiga orang) dengan tema "Khatulistiwa".

Setelah proses penjurian yang panjang, akhirnya pada 5 Juli 1955 atas perintah Presiden Soekarno diputuskan desain rancangan dengan tema "Ketuhanan" karya Frederich Silaban yang dipilih sebagai pemenang. Frederich Silaban pada masa itu merupakan seorang arsitek terkenal di Indonesia. Selain Istiqlal, karya lainnya yang masih menghiasi ibukota adalah desain gedung Bank Indonesia (BI) dan Kompleks Gelanggang Olahraga Senayan.

Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama di Indonesia. Masyarakat saling membantu untuk membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain.

Demikian halnya dalam pembangunan Masjid Istiqlal. Sang arsitek Frederich Silaban yang merupakan lulusan terbaik Academie van Bouwkunst Amsterdam tahun 1950 adalah penganut Kristen Protestan yang taat.

Arsitek kelahiran Bonandolok, Sumatera, 16 Desember 1912 itu, merupakan anak dari pasangan suami istri Jonas Silaban Nariaboru.
Untuk menyempurnakan rancangan Masjid Istiqlal, Silaban mempelajari tata cara dan aturan orang Muslim dalam melaksanakan shalat dan berdoa selama kurang lebih tiga bulan. Selain itu, ia juga mempelajari banyak pustaka mengenai masjid-masjid di dunia.
Proses panjangPembangunan masjid yang diarsiteki Frederich Silaban ini dimulai pada 24 Agustus 1961 atau saat itu bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Presiden Soekarno ketika itu langsung bertindak sebagai kepala bidang teknik pembangunan Masjid Istiqlal.

Namun, hingga pertengahan tahun 1960-an, proyek Masjid Istiqlal tersendat-sendat pembangunannya. Di samping karena iklim politik dalam negeri yang cukup memanas kala itu, juga disebabkan pembangunannya berbarengan dengan Gelora Senayan, Monumen Nasional, dan berbagai proyek mercusuar lainnya.
Puncaknya, ketika meletus peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965-1966, pembangunan Masjid Istiqlal terhenti sama sekali. Barulah ketika Himpunan Seniman Budayawan Islam memperingati miladnya yang ke-20, sejumlah tokoh, ulama, dan pejabat negara tergugah untuk melanjutkan pembangunan Masjid Istiqlal.

Dipelopori oleh menteri agama saat itu, KH M Dahlan, upaya penggalangan dana mewujudkan fisik masjid digencarkan kembali. Kedudukan Presiden Soekarno sebagai kepala bidang teknik digantikan oleh KH Idham Chalied, sekaligus bertindak sebagai koordinator panitia nasional Masjid Istiqlal yang baru. Melalui kepengurusan yang baru, masjid dengan arsitektur bergaya modern itu selesai juga pembangunannya.

Semula, pembangunan masjid direncanakan akan memakan waktu selama 45 tahun. Namun, dalam pelaksanaannya, ternyata jauh lebih cepat. Bangunan utama dapat selesai dalam waktu enam tahun. Tepatnya, pada 31 Agustus 1967, masjid sudah dapat digunakan, yang ditandai dengan berkumandangnya azan pertama untuk shalat Maghrib.
Pada 29 September 1967, untuk pertama kali, diselenggarakan shalat Jumat di masjid ini. Secara keseluruhan, pembangunan Masjid Istiqlal diselesaikan dalam kurun waktu 17 tahun. Peresmiannya dilakukan oleh presiden Soeharto pada 22 Februari 1978.


Monday, July 2, 2012

Cara Dekat Dengan Malaikat

Menjadi Muslim tidak hanya dituntut untuk memburu pahala dengan mengerjakan yang wajib dan menjauhi dosa dengan meninggalkan yang haram. Justru, di luar hal-hal yang halal dan haram itu, Muslim harus berhati-hati.

Ulama asal Australia, Tawfique Chowdhury, mengatakan, sejumlah perilaku turut menentukan dekat tidaknya seseorang dengan keselamatan. Salah satu perilaku itu adalah merokok.

“Malaikat jauh dari orang-orang yang merokok. Mereka enggan memasuki rumah di mana ada asap rokok di dalamnya,” ujar CEO Mercy Mission dan pendiri Al Kauthar Institute itu. Ia menekankan agar Muslim memperhatikan hal-hal yang membawa mudharat, baik bagi dirinya maupun bagi orang di sekelilingnya.

“Setiap saat, ada jutaan malaikat di sekitar kita,” katanya. Selain dua malaikat pengawas dan pencatat amal, ada malaikat-malaikat lain yang melindungi manusia. “Keberadaan mereka bagi kita sangat dipengaruhi oleh perilaku kita. Dan merokok adalah salah satu hal yang menjauhkan malaikat dari kita.”

Selain itu, Tawfique juga mengingatkan pentingnya amalan wajib bernama shalat. Peristiwa Isra dan Mi'raj, katanya, menunjukkan betapa pentingnya ibadah wajib tersebut. “Shalat adalah esensi dari hubungan Muslim dengan Allah,” ujarnya.

Lebih dari itu, menurut Tawfique, shalat menentukan ‘kesahihan’ Islam seseorang. “Jika seseorang mengaku beragama Islam namun tidak shalat, maka ia bukan Muslim. Jika Anda menikah dengan seorang pria atau wanita dan di kemudian hari ia tidak menunaikan shalat lima waktu, maka sesungguhnya kontrak pernikahan telah batal,” tegasnya.

Shalat, tambahnya, merupakan bentuk penyerahan diri seorang hamba kepada Allah. Ia adalah cara untuk mendekatkan diri. “Untuk bisa dekat, kita perlu kenal. Dan kita akan mengenal Allah jika kita mengenal diri kita, menyadari apa kelemahan dan makna kita di hadapan-Nya. Kita harus tahu bahwa kita bukanlah apa-apa di hadapan Allah.”

Saat-saat Terdekat Dengan Allah

Peristiwa satu kali setahun di Padang Arafah merupakan momen yang luar biasa. Bagaimana tidak, padang pasir tandus tak berpenghuni itu menjadi ramai oleh umat manusia setiap Tanggal delapan Zulhijjah.

Banyak sekali umat manusia yang datang dan berdesakan. Suara-suara yang keras saling bersahutan melantunkan kalimat talbiyah. Doa-doa dipanjatkan dengan berbagai bahasa yang beraneka ragam. Kelompok-kelompok haji yang bersahutan menirukan imam mereka dalam bacaan doa-doa.

Ketika menyaksikan semua itu, hendaklah seorang hujjaj membayangkan apa yang akan terjadi padanya di padang-padang (Mahsyar) pada hari Kiamat. Ketika umat-umat berkumpul bersama para nabi dan imam. Setiap umat mengikuti nabinya masing-masing. Setiap orang diliputi kebimbangan, apakah mereka akan termasuk orang-orang yang diterima, ataukah yang ditolak?

Peristiwa wukuf di Padang Arafah adalah peristiwa yang mirip dengan berkumpulnya umat manusia di Padang Mahsyar saat terjadinya Hari Kiamat Kelak. Apabila seorang hujjaj telah membayangkan hal itu, hendaklah ia ber-tadharru‘ dan bermunajat (memohon beriba-iba seraya bersikap merendah) semoga kelak ia akan dibangkitkan dalam golongan orang yang dirahmati Allah SWT.

Seorang hujjaj juga harus menguatkan harapan akan terkabulnya segala yang mohonkan. Sebab, itulah peristiwa yang amat mulia, dan berlangsung di tempat yang amat mulia pula.

Maka apabila kata hati mereka telah bersatu padu, jiwa- jiwa mereka telah terkonsentrasi dalam tadharru' dan munajat, tangan-tangan mereka ditadahkan, seraya leher-leher meregang dan menengadah. Tangan mereka terus-menerus tertuju ke langit yang tinggi bersama-sama.

Jika semua itu telah ia lakukan, maka janganlah sekali-kali ber­prasangka bahwa Allah SWT akan mengecewakan mereka, atau menyia-nyiakan upaya mereka. Allah tidak akan menahan rahmah yang melimpah ruah kepada mereka semuanya.

Para ulama salaf dalam nasehat mereka mengatakan, diantara dosa- dosa orang yang melakukan haji adalah, persangkaan seseorang yang berwukuf di Arafah, bahwa Allah SWT tidak memberinya ampunan dan maghfirah.

Barangkali hal itu berdasarkan asumsi bahwa bersatunya niat dan himmah (niat dan tekad yang tulus), serta berkumpulnya mereka dengan para abdal dan autad yang datang dari segala penjuru dunia, itulah rupanya, ”rahasia haji dan puncak tujuannya”.

Kesimpulannya, tiada cara untuk mendatangkan limpahan rahmat Allah SWT, lebih baik daripada bersatunya himmah serta tolong-menolong di antara jiwa-jiwa manusia, di tempat yang satu dan secara bersama-sama.

Ghibah : Jalan Pintas Menuju Neraka

Oleh: Ustaz Toto Tasmara

Berghibahlah, bila engkau merindukan jalan pintas menuju neraka, membuka pintu-pintu siksa yang pedih, dan menarilah di atas penderitaan orang lain. Juga, tertawalah di atas derai air matanya. Jadilah binatang buas yang melahap bangkai-bangkai manusia.

Tahukah kalian, ghibah itu lebih hina dari perzinaan atau pelacuran. Imam Ghazali dan Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sekali-kali kamu melakukan pergunjingan, karena pergunjingan itu lebih berat dari perzinaan. Karena, jika seseorang yang berzina kemudian bertobat maka Allah mengampuninya. Sedangkan penggunjing tidak akan diampuni Allah, sebelum orang yang digunjingkan itu memaafkannya.”

Alangkah beratnya siksa yang ditanggung oleh tukang gunjing (mughtaab), si tukang penyebar ghibah. Betapapun dia bertobat kepada Allah, pintu pengampunan tidak akan terbuka, kecuali dia berlari dan bersungguh-sungguh meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya itu.

Tidakkah kita takut pada siksa Allah? Bagaimana bila orang yang digunjingkan itu telah meninggal dunia? Kepada siapakah engkau akan memohonkan maaf. Padahal, kunci surga hanya terbuka bila ada pemaafan darinya.

Imam Gazali meriwayatkan penggalan nasihat Allah kepada Nabiyulah Musa AS. “Barang siapa yang mati dalam keadaan bertobat dari gunjingan, maka ia adalah orang terakhir yang memasuki surga. Dan barang siapa yang mati dalam keadaan bergunjing, maka ia adalah orang pertama yang memasuki neraka.” (Mukhtasar Ihya Ulumudin,1990: 241).

Saat ini, ghibah telah menjadi komoditas dan tontonan yang mampu mengangkat rating tayangan televisi. Acara gosip yang dipandu para presenter cantik dengan pakaian setengah telanjang, menjadi primadona pengelola televisi.

Kehidupan rumah tangga orang yang sangat pribadi pun dibongkar. Dan, kita pun merasa asyik menonton gosip tersebut, bahkan turut melakukan estafet gosip ke tetangga sebelah. Maka, berantailah penyebaran gosip.

Dalam dunia politik, ghibah merupakan senjata yang paling ampuh untuk mehancurkan harga diri dari reputasi lawan politiknya yang secara populer dikenal dengan istilah character assasination (pembunuhan karakter).

Betapa besarnya dosa dan konsekuensi moral yang disebabkan oleh ulah lidah, menggosip dan mencela atau mencaci maki orang lain. Inilah ajaran moral kemanusiaan paling fundamental yang menghiasi akhlak seorang Muslim. Betapapun rajin kita beribadah, di hadapan Allah ibadahnya tidak memiliki manfaat sama sekali, selama lidah kita menggosip dan menyakiti orang lain.

Sahabat Muadz bin Jabbal RA pernah bertanya pada Rasulullah SAW. “Apakah kita akan diminta pertanggungjawaban karena apa yang kita ucapkan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Hai Ibnu Jabbal, tidaklah manusia-manusia itu akan ditelungkupkan dengan hidungnya terlebih dahulu di neraka, melainkan karena apa yang dilakukan oleh lidahnya.” (HR Hakim). Semoga Allah melindungi dan memelihara kita dari berghibah.

Memilih Teman Setia

Oleh: Moch Syarif Hidayatullah      
Hampir setiap saat selalu ada Abu Bakar di sisi Nabi Muhammad SAW setelah beliau mendeklarasikan diri sebagai utusan Ilahi. Di tengah-tengah masyarakat yang tak bersahabat dan antipati, Abu Bakar membuat Nabi tegar menghadapi tantangan dakwah yang silih berganti.

Gua Tsur adalah saksi bisu bagaimana ia meredam sedih dalam kepungan amuk kejahiliyahan orang-orang Quraisy yang mengejar Nabi (QS. 9: 40). Peristiwa Isra Mikraj juga menjadi bukti kesetiaan seseorang yang percaya sepenuhnya kualitas kejujuran temannya.

Bila Nabi memiliki Abu Bakar, Harun AS adalah teman perjuangan Nabi Musa AS. Dialah yang membantu Musa dalam mengembangkan dan menyebarkan agama Allah. Dengan kefasihan dan kecerdasan bahasa yang dimiliki, ia menutupi masalah artikulasi yang menjadi kendala Musa (QS. 28: 34).

Ia tahu bagaimana menghadapi Firaun dan Bani Israil yang sering membuat emosi Musa tak terkendali. Saat Musa harus mengikuti perintah bermunajat di Thur Sina, Harunlah yang menggantikan Musa untuk mengawasi dan mengendalikan Bani Israil agar tidak berbuat keonaran, kemunkaran, apalagi kemusyrikan. (QS. 20: 29).

Perjuangan memang butuh teman, yang mendukung tanpa batas, yang mengoreksi tanpa risih, dan yang memahami kegundahan tanpa membebani. Teman adalah seseorang yang senantiasa membantu tanpa berharap balas budi, yang berada di depan tanpa takut mati, yang juga siap memberikan waktu, tenaga, pikiran, harta, dan kesetiaan.

Sunnatullahnya, semua makhluk di muka bumi butuh teman. Pepatah Arab menyebut, teman terkadang lebih berguna daripada saudara kandung. Namun, tidak sembarang teman bisa dipercayai. Hanya teman yang bersedia ada di saat susah dan sedih yang patut dijadikan sandaran hati. Karena, saat jaya dan bahagia, teman baik tak bisa diuji. Teman yang hanya mau diajak tertawa bukanlah teman sejati. Saat air mata menetes, teman setia barulah terbukti.

Untuk melihat patokan kualitas teman, nasihat sastrawan Arab klasik, Tharfah bin Al-Abd, patut direnungi. “Jangan bertanya pada seseorang tentang dirinya. Tanyalah temannya tentang siapa dia. Seseorang selalu mengikuti apa yang dilakukan temannya.” Ini selaras dengan sabda Nabi. “Orang akan mengikuti kecenderungan dan sikap temannya. Oleh karenanya, perhatikan siapa temanmu.” (HR Tirmidzi).

Singkatnya, teman adalah cerminan diri. Para sufi menyebut, ruh kita itu tentara yang berbaris. Barisan yang kita pilih adalah identitas azali kita. Teman mana yang membuat kita nyaman, itu sejatinya diri kita. Karenanya, dalam Islam ditekankan pentingnya memilih teman. Jika salah pilih, tidak hanya jati diri yang hilang, tapi harga diri.

Tanpa disadari, surga dan neraka kita pun, ada andil siapa teman yang kita pilih. Nabi SAW berpesan, “Seseorang akan dikumpulkan dengan orang yang disukai,” (HR Bukhari). Menurut para ulama, pesan Nabi itu berlaku tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

7 Amalan Yang Pahalanya Terus Mengalir

 Amal Jariyah adalah sebutan bagi amalan yang terus mengalir pahalanya, walaupun orang yang melakukan amalan tersebut sudah wafat. Amalan tersebut terus memproduksi pahala yang terus mengalir kepadanya.

Hadis tentang amal jariyah yang populer dari Abu Hurairah menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila anak Adam (manusia) wafat, maka terputuslah semua (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga macam perbuatan, yaitu sedekah jariah, ilmu yang berman­faat, dan anak saleh yang mendoakannya" (HR. Muslim).

Selain dari ketiga jenis perbuatan di atas, ada lagi beberapa macam perbuatan yang tergolong dalam amal jariah.

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya diantara amal kebaikan yang mendatangkan pahala setelah orang yang melakukannya wafat ialah ilmu yang disebar­luaskannya, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf (kitab-kitab keagamaan) yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah yang dibangunnya untuk penginapan orang yang sedang dalam perjalanan. sungai yang dialirkannya untuk kepentingan orang banyak, dan harta yang disedekahkannya” (HR. Ibnu Majah).

Di dalam hadis ini disebut tujuh macam amal yang tergolong amal jariah sebagai berikut.

1. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, seperti diskusi, ceramah, dakwah, dan sebagainya. Termasuk dalam kategori ini adalah me­nulis buku yang berguna dan mempublikasikannya.

2. Mendidik anak menjadi anak yang saleh. Anak yang saleh akan selalu berbuat kebaikan di dunia. Menurut keterangan hadis ini, kebaikan yang dipeibuat oleh anak saleh pahalanya sampai kepada orang tua yang mendidiknya yang telah wafat tanpa mengurangi nilai/pahala yang diterima oleh anak tadi.

3. Mewariskan mushaf (buku agama) kepada orang-orang yang dapat memanfaatkannya untuk kebaikan diri dan masyarakatnya.

4. Membangun masjid. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa yang membangun sebuah masjid karena Allah walau sekecil apa pun, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Orang yang membangun masjid tersebut akan menerima pahala seperti pahala orang yang beribadah di mas­jid itu.

5. Membangun rumah atau pondokan bagi orang-orang yang bepergian untuk kebaikan. Setiap orang yang memanfaatkannya, baik untuk istirahat sebentar maupun untuk bermalam dan kegunaan lain yang bukan untuk maksiat, akan mengalirkan pahala kepada orang yang membangunnya.

6. Mengalirkan air secara baik dan bersih ke tampat-tempat orang yang membutuhkannya atau menggali sumur di tempat yang sering dilalui atau didiami orang banyak. Setelah orang yang mengalirkan air itu wafat dan air itu tetap mengalir serta terpelihara dari kecemaran dan dimanfaatkan orang yang hidup maka ia mendapat pahala yang terus mengalir.

Semakin banyak orang yang memanfaat­kannya semakin banyak ia menerima pahala di akhirat. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa membangun sebuah sumur lalu diminum oleh jin atau burung yang kehausan, maka Allah akan mem­berinya pahala kelak di hari kiamat.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah).

7. Menyedekahkan sebagian harta. Sedekah yang diberikan secara ikhlas akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda.

Umar bin Khathab Pemimpin Yang Adil

Umar bin Khathab lahir 13 tahun setelah kelahiran Rasulullah SAW (tahun 581 Masehi). Sebagai anak yang lahir dari keluarga bangsawan Quraisy, Umar bin Khathab dibekali dengan pendidikan yang baik, seperti dalam bidang perniagaan dan bela diri.

Putra pasangan Khathab dan Hanthamah ini, tumbuh sebagai pemuda yang cerdas, penuh semangat, berani, blak-blakkan dalam bicara dan dinamis.

Pada mulanya, ia sangat menentang Islam dan Rasulullah SAW. Kebencian Umar mencapai puncaknya pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Makkah menuju Madinah. Kemudian, ia menanamkan niat pasti untuk membunuh Rasulullah SAW.

Mengetahui niat buruk Umar, Rasulullah SAW selalu berdoa, “Semoga Allah SWT memberikan kejayaan pada Islam dengan masuknya Umar memeluk Islam.” Allah SWT pun mengabulkan doa Rasul Nya.

Suatu hari, Umar sudah begitu muak dengan perkembangan Islam. Dengan pedang di tangan, dia berniat membunuh Rasulullah SAW. Di jalan Umar berjumpa dengan Nuaim bin Abdullah, seorang teman yang memberitakan bahwa adik perempuannya, Fatimah, beserta suaminya, Sa’id bin Zaid, telah memeluk Islam.

Dipenuhi dengan kemarahan yang meluap-luap, Umar cepat-cepat menuju rumah Fatimah. Di sana, ia menemukan Fatimah beserta suaminya sedang membaca ayat-ayat suci Alquran. Masih dipenuhi dengan kemarahan, Umar menghardik Fatimah dan memerintahkannya untuk melepaskan Islam dan kembali kepada tuhan-tuhan nenek moyang mereka.

Di puncak kemarahannya, Umar menangkap sebuah lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Alquran. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan hatinya menciut. Dengan tangan bergetar Umar mengambil lembaran-lembaran itu, dan membaca ayat-ayat Alquran yang tertera. Setelah membaca ayat-ayat itu, perasaannya menjadi tenang dan kedamaian meliputi hatinya.

Setelah itu, timbul keinginan kuat untuk segera menemui Rasulullah SAW. Ia pun meninggalkan rumah Fatimah menuju rumah Al-Arqam di mana Rasulullah SAW sedang menyampaikan dakwah beliau secara sembunyi-sembunyi. Umar pun memeluk Islam dan bersyahadat di depan Rasulullah SAW.

Mengenai identitas keislamannya, Umar tidak pernah menutupinya. Keberanian dan pengabdian Umar kepada Islam sebagai salah seorang penduduk Makkah yang paling berpengaruh, menaikkan semangat juang kaum Muslimin lainnya.

Pada waktu Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq jatuh sakit, dia menunjuk Umar bin Khathab untuk menggantikannya.
Tetapi penunjukan ini tidak mutlak, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin atas persetujuan mereka bersama tanpa paksaan atau tekanan dari siapa pun jua.

Umat Islamlah yang akan menentukan siapa yang mereka terima untuk dijadikan khalifah (kepala negara) dan siapa pun yang mereka inginkan. Ternyata umat Islam menerima Umar bin Khathab secara aklamasi dengan pertimbangan yang sangat mendalam.

Keberanian Umar dalam memisahkan antara kebenaran dengan kebatilan membuatnya dijuluki “Al-Faruq” oleh Rasulullah SAW. Artinya, orang pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar adalah sahabat dan penasihat terdekat. Hal ini yang membuat Umar menjadi nominator terkuat untuk meneruskan kekhalifahan Abu Bakar. Maka, ketika Abu Bakar wafat, kaum Muslimin sepakat membaiat Umar sebagai khalifah yang baru.

Pada pembaiatannya sebagai khalifah, Umar berkata, “Wahai kaum Muslimin! Kalian semua memiliki hak-hak atas diriku, yang selalu bisa kalian pinta. Salah satunya adalah jika seorang dari kalian memintakan haknya kepadaku, ia harus kembali hanya jika haknya sudah dipenuhi dengan baik.”

“Hak kalian yang lainnya adalah permintaan kalian bahwa aku tidak akan mengambil apa pun dari harta negara maupun dari rampasan pertempuran. Kalian juga dapat memintaku untuk menaikkan upah dan gaji kalian seiring dengan meningkatnya uang yang masuk ke kas negara.”

“Aku akan meningkatkan kehidupan kalian dan tidak akan membuat kalian sengsara. Juga merupakan hak, apabila kalian pergi ke medan pertempuran, aku tidak akan menahan kepulangan kalian. Dan ketika kalian sedang bertempur, aku akan menjaga keluarga kalian laksana seorang ayah.”

“Wahai kaum Muslimin, bertakwalah selalu kepada Allah SWT! Maafkan kesalahan-kesalahanku dan bantulah aku dalam mengemban tugas ini. Bantulah aku dalam menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan. Nasihatilah aku dalam pemenuhan kewajiban-kewajiban yang telah diamanahkan oleh Allah SWT.”

Umar merupakan pemimpin dengan keahlian administrasi yang tinggi, pemimpin politik dan jenderal militer yang cerdas. Ketidakegoisan dan kekukuhannya dalam menegakkan kebenaran dan hak-hak rakyat membuatnya dihargai dan memiliki posisi penting dalam sejarah. Umar memerintah selama sepuluh tahun.

Di antara kontribusi Umar bin Khathab untuk Islam ialah dia beserta pasukan Islam berhasil membentangkan kejayaan Islam dari Mesir, Syam, Irak sampai ke kerajaan Persia.

Ia beserta para penasihatnya berhasil mengembangkan kalender Islam. Umar juga berhasil membangun administrasi yang baik di dalam pemerintahan Islam. Daulah Islamiyah menunjukkan adanya peningkatan dan perbaikan selama pemerintahannya.

Umar adalah orang pertama yang mencetuskan ide tentang perlunya dilakukan pengumpulan ayat-ayat Alquran. Ayahanda Hafshah (Ummul Mukminin) ini dikenal sebagai sahabat yang berani melakukan ijtihad dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip musyawarah.

Sebagai seorang Khalifah, hidup Umar bin Khathab benar-benar diabdikan untuk mencapai ridha Illahi. Ia berjuang bagi rakyat, benar-benar memerhatikan kesejahteraan rakyat. Di malam hari, dia sering melakukan investigasi untuk mengetahui keadaan rakyat jelata yang sebenarnya.

Suatu malam, Sang Khalifah menemukan sebuah gubuk kecil yang dari dalamnya nyaring terdengar suara tangis anak-anak. Umar mendekat dan memerhatikan dengan seksama keadaan gubuk itu. Ia dapat melihat ada seorang ibu yang dikelilingi anak-anaknya.

Ibu itu kelihatan sedang memasak sesuatu. Tiap kali anak-anaknya menangis, sang Ibu berkata, “Tunggulah! Sebentar lagi makanannya akan matang.”

Selagi Umar memerhatikan di luar, sang ibu terus menenangkan anak-anaknya dan mengulangi perkataannya bahwa makanan sebentar lagi akan matang.

Umar menjadi penasaran. Setelah memberi salam dan meminta izin, dia memasuki gubuk itu dan bertanya kepada sang ibu, "Mengapa anak-anak Ibu tak berhenti menangis?”

“Itu karena mereka sangat lapar,” jawab si ibu.

“Mengapa tidak ibu berikan makanan yang sedang Ibu masak sedari tadi itu?”

“Tidak ada makanan. Periuk yang sedari tadi saya masak hanya berisi batu untuk mendiamkan anak-anak. Biarlah mereka berpikir bahwa periuk itu berisi makanan. Mereka akan berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur.”

“Apakah Ibu sering berbuat begini?” tanya Umar ingin tahu.

“Ya. Saya sudah tidak memiliki keluarga ataupun suami tempat saya bergantung. Saya sebatang kara,” jawab si ibu datar, berusaha menyembunyikan kepedihan hidupnya.

“Mengapa Ibu tidak meminta pertolongan kepada Khalifah? Sehingga beliau dapat menolong Ibu beserta anak-anak Ibu dengan memberikan uang dari Baitul Mal? Itu akan sangat membantu kehidupan ibu dan anak-anak,” nasihat Umar.

“Khalifah telah berbuat zalim kepada saya,” jawab si ibu.

“Bagaimana Khalifah bisa berbuat zalim kepada ibu?” sang Khalifah ingin tahu.

“Saya sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya dalam kehidupan nyata. Siapa tahu, ada banyak orang yang senasib dengan saya.”

Umar berdiri dan berkata, “Tunggu sebentar, Bu. Saya akan segera kembali!”       

Pada malam yang telah larut itu, Umar segera bergegas ke Madinah, menuju Baitul Mal. Ia segera mengangkat sekarung gandum yang besar di pundaknya. Abbas, sahabatnya membantu membawa minyak samin untuk memasak.

Karena jarak antara Madinah dengan rumah sang Ibu demikian jauhnya, keringat bercucuran dari tubuh sang Khalifah. Maka, Abbas berniat untuk membantu Umar mengangkat karung itu. Dengan tegas Umar menolak tawaran Abbas.

”Tidak akan kubiarkan kamu membawa dosa-dosaku di akhirat kelak. Biarkan aku membawa karung besar ini, karena aku merasa begitu bersalah atas apa yang telah terjadi pada si ibu beserta anak-anaknya,” jawab Umar dengan napas yang tersengal.

Maka, ketika Khalifah menyerahkan sekarung gandum yang besar kepada si ibu beserta anak-anaknya yang miskin, bukan main gembiranya mereka menerima bahan makanan dari lelaki yang tidak dikenal ini.

Kemudian ‘lelaki tidak dikenal’ itu memberitahukan si ibu untuk menemui Khalifah besok, untuk mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya di Baitul Maal.

Betapa terkejutnya si ibu, ketika keesokannya ia berkunjung ke Madinah. Ia menemukan kenyataan bahwa ‘lelaki yang tidak dikenal’ itu tidak lain merupakan Khalifah Umar sendiri.

Umar adalah profil seorang pemimpin yang sukses, mujtahid (ahli ijtihad) yang ulung, dan sahabat Rasulullah SAW yang sejati. Kesuksesannya dalam mengibarkan panji-panji Islam mengundang rasa iri dan dengki, di hati musuh-musuhnya.

Salah seorang di antara mereka Fairuz, Abu Lu’lu’ah, telah mengakhiri hidupnya dengan cara yang amat tragis. Ia menikam Umar tatkala sedang memimpin shalat Subuh pada hari Rabu 26 Dzulhijjah 23 H. Umar Al-Faruq wafat pada hari Ahad, dalam usia 63 tahun, setelah selama lebih kurang sepuluh tahun mengemban amanah sebagai Khalifah.